Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Renungan Selesai Tahun Untuk Indonesia

INIRUMAHPINTAR - Entah mengapa jemari ini ingin sekali meninggalkan jejak goresan pena di final tahun 2016. Jejak yang belum tentu bakal dibaca banyak orang tetapi niscaya akan tercatat dalam sejarah mesin pencari. Lagi pula, saya tidak terlalu peduli apakah ada yang berminat membaca coretan lama ini nanti atau spesialuntuk akan terkubur menjadi fosil pustaka. Yang terpenting ialah niatku meluapkan isi hati terkabul menjadi kenyataan. Bukankah takdir sudah menetapkan siapa-siapa yang akan hinggap atau terdampar di blog ini. Mereka bakal hadir dan mulai mengindra bertahap goresan pena ini di waktu yang sudah ditentukan, termasuk Anda. Iya kan?

Makanya, pertama-tama saya mengucapkan terima kasih bagi Anda sekalian yang sudah meluangkan waktu meninggalkan jejak traffic di blog ini. Aku tersanjung dan menyambut dengan senyuman nrimo yang tak bisa saya lukiskan. Silahkan berselancar dengan imajinasikan sendiri. Salam kenal ya teman dekat!

Awalnya saya menentukan membisu saja sembari menjadi penonton dan pendukung setia bagi ombak-ombak yang berkejaran menghalau sampah ke tepian pantai. Di samping itu, sesekali saya ikut mengambil satu per satu sampah yang bisa kuraih kemudian kuantar ke peraduannya yang terakhir. Tidak jarang juga kuajak beberapa orang yang awalnya belum kukenal untuk ikut peduli pada hamparan bahari biru yang terbentang di hadapan pulau persinggahan ini biar tidak terkotori oleh tangan-tangan jahil. Ada juga yang tangannya harus kugenggam erat dan pundaknya kutepuk sembari menuntunnya berjalan sedikit menjauh dari teluk, sebab di balik daya tarik keindahannya ada pasir hisap yang mengelilingi daerah fana tersebut.

Sayangnya, kerja keras yang kulakukan sepanjang tahun tidaklah menunjukkan hasil memuaskan. Air bahari semakin menghitam, sampah-sampah semakin membukit, dan pemukiman di seberang jalan kian gersang tak berpenghuni. Akibatnya kejayaan kerajaan terumbu karang yang kudirikan serta prajurit-prajurit ikan dan organisme di dalamnya sekarang bagai telur di ujung tanduk. 

Rupanya, ombak-ombak kebablasan. Sampah yang dihempaskan penhadir tidak terkendali. Ikan-ikan ditangkap tanpa nurani dan kerajaan terumbu karang diekploitasi. Nyiur melambai yang biasanya menenduhkan sekarang dibabat hingga habis. Pasir-pasir pun diangkut dan dibawa ke dunia lain. Sementara manusia-manusia yang dulunya bersamaku berjuang menghalau pengacau, banyak yang menentukan bungkam. Ternyata mereka berubah sebab iming-iming kemewahan dan kesenangan duniawi. Dan parahnya lagi, nelayan-nelayan bijak yang dulunya hidup bersama dengan bergandengan tangan dan bersinergi memelihara ekosistem laut, sekarang sudah bersaing tidak sehat dan saling menjatuhkan. Apa yang terjadi? Lupakah mereka bahwa bahari ini bukan milik siapa-siapa andai nenek moyang kita tidak bersatu melawan kolonis di masa silam.

Lalu seiring bergantinya masa dan peradaban, menjelang tahun 2017, terbersit di hati kecil ini hasrat untuk mengembalikan kejayaan kampung kenangan yang penuh cinta kasih ini layaknya lampau. Aku merasa terpukul dan sangat sakit melihat adik-adik kecil, generasi pelaut yang harus rela kehilangan sekolah akhir pengikisan yang meluas. Rumah-rumah penduduk pun banyak yang runtuh sebab kayunya melapuk. Mesjid-mesjid di puncak bukit yang dulunya menjadi perjumpaan romantis di lima waktu semakin hening dan lebih ramai ditinggali nyamuk-nyamuk dan laba-laba. 

Belum lagi semakin meningkatnya angka manusia-manusia yang tersesat dan terjebak di dalam kubangan pasir hisap yang dulu pernah kuingatkan. Apa yang terjadi sesungguhnya?

Bergeser sedikit ke sentra keramaian, orang-orang tidak lagi begitu ramah. Mereka lebih suka berkongsi dan berkumpul sesama kelompoknya. Siang malam pun yang terdengar spesialuntuklah bisikan sindir-menyindir dan ocehan-ocehan ampas yang mengotori sudut-sudut kota. Padahalnya wanua (negeri, kawasan, wilayah, tempat) ini dulunya dikenal dengan kemajemukan yang sejiwa dan seraga. Tidak ada yang mau menang sendiri dan hidup senang di atas penderitaan tetangga-tetangganya. Meski tidak sependapat atau tidak sepaham, dogma baik untuk menjaga perasaan orang lain sangat diutamakan. Jadi, tiada yang terluka hatinya, tiada yang tercemari nama baiknya, dan tiada yang ternodai kehormatannya. Mengapa tiba-tiba berubah? Apa yang salah?


Aku pun semakin penamasukan ingin mencari akar permasalahan yang sebenarnya. Aku tidak ingin tinggal membisu lagi. Mengapa masyarakat yang dulunya saling memmenolong layaknya saudara tiba-tiba bermetamorfosis kaum kanibal? Mereka saling memangsa sepanjang waktu. Si besar lengan berkuasa menundukkan si lemah, si kaya menghempaskan si miskin, si pandai merendahkan si bodoh, si rajin menghalau si malas, si rupawan mengucilkan si jelek rupa, si merdu menghina si sumbang, dan si cendekia menipu si lugu. Heii…ada apa gerangan? Mengapa si besar lengan berkuasa tidak ikut meentengkan beban si lemah, si kaya memmenolong si miskin, si pandai mengajari si bodoh, si rajin memotivasi si malas, si rupawan merangkul si jelek rupa, si merdu menghargai si sumbang, dan si cendekia mengarahkan si lugu? Lupakah mereka bahwa mereka saudara? Renungkanlah! Lebih untung mana memperbanyak lawan atau menambah kawan? 

Satu batang lidi tiada apa-apanya dibanding kekuatan seikat lidi. Jika dipakai untuk memmembersihkankan sampah yang menumpuk di pinggir pantai itu, cukupkah dengan satu batang lidi? Mengapa tidak memakai seikat, dua, tiga, hingga jutaan ikat lidi saja biar cepat selesai? 

Begitu pun orang yang mengendalikan sapu lidi. Jangan spesialuntuk pandai memerintah tanpa ikut serta, tidakboleh spesialuntuk pandai mengKoreksi tanpa memdiberi solusi, tidakboleh spesialuntuk pandai menghimbau tanpa ikut menghalau. Satu orang yang bekerja tiada apa-apanya dibanding power orang sewanua. Makanya, tidakbolehlah bekerja sendiri-sendiri. Bersatulah kembali, tepiskan perbedaan, singsingkan lengan baju untuk saling merangkul. Kota ini butuh spirit gotong royong. Kita dihentikan mematung saja tanpa berbuat apa-apa. 

Kerajaan bahari dan seisinya mesti dikembalikan ke nuansa kejayaan lagi. Tak boleh dibiarkan diobok-obok penhadir yang berwajah musang berbulu domba. Tak boleh dipercayakan kepada pagar yang gemar makan tanaman. Biarkan habitat alami tumbuh dan mewarnai bumi kita. Sampah-sampah harus segera dimembersihkankan. Oleh siapa? Tak usah banyak bertanya, ya kita tiruana. Jangan lagi ikut mengotori jikalau tak bisa memmembersihkankan! Jangan coba merusak lagi jikalau tak andal memperbaiki! Jangan pernah banyak berteori tanpa pernah mempersembahkan bukti! Dan Janganlah terlalu berbangga dengan tubuh besar, ilmu hebat, titel berlapis, kemudian merasa paling hebat menggurui dengan teori yang tak pernah dicoba sendiri sebab itu tidak lebih spesialuntuklah bagai tong kosong nyaring bunyinya alias omdo (omong doang). 

Jadilah ibarat bapak bangsa yang memegang prinsip taro ada taro gau (apa yang diucapkan, itu yang dilakukan). Kemudian, mari hidup berbhinneka tunggal ika dengan falsafah mali siparappe (jika terhanyut, saling menolong ke tepian), rebba sipatokkong (jika terjatuh, saling memmenolong berdiri), malilu sipakainge (jika salah, saling mengingatkan hingga tersadar), suroi menre tessuroi noo (saling mengangkat naik dan tidak saling menekan ke bawah).

Ingin rasanya saya terpulas di balai-balai bambu di tepi pantai itu biar semilir angin mengantarkan diriku terlelap dan nyenyak. Meski spesialuntuk beratapkan atap tak bertiang, yaitu langit ciptaan Allah, dan berselimutkan rindu kehidupan damai, setidaknya hujan kerikil di negeri sendiri jauh lebih baik dibanding hujan emas di negeri orang (katanya). Tanpa terasa saya benar-benar terpulas sembari memeluk impian biar besok, warna-warni perbedaan di wanua ini menyatu menjadi pelangi yang indah di ufuk timur.

Lalu, dering ponsel membangunku. Terdengar bunyi di seberang sana, "bangun! waktunya shalat subuh." Kujawaban dengan singkat, "iya, siap". melaluiataubersamaini mengusap-usap sembari memicingkan mata, saya sedikit membatin. "Dimana aku? kok ibarat dengan kamar pulasku, kemana laut, pantai, dan masyarakat-masyarakat kota yang kurang serasi semalam?" tanyaku dalam hati. Rupanya spesialuntuk mimpi...

Setidaknya aku, engkau, dan kita bisa berguru banyak dari mimpi tersebut. Andai bahari yang tercemar, pantai-pantai yang dipenuhi sampah, dan kota pesisir yang berpenghuni manusia-manusia hening tapi gersang itu berjulukan Indonesia, apa yang harus kita lakukan? 

Sigello-gellona adae, de'gaga riolona, engka rimonrinna. Sikeja-kejana adae, engka riolona, degaga rimonrinna. Artinya : Sebagus-bagusnya sebuah perkataan, tidak diujarkan di awal tetapi dibuktikan di akhir. Seburuk-buruknya sebuah perkataan, diujarkan di awal tetapi diakhiri tanpa pembuktian.

Apa pesan peribahasa bugis tersebut di atas? jikalau dihubungkan dengan kondisi Indonesia yang sekarang dilanda banyak ujian dan cobaan, maka sebaiknya kita lebih baik membisu saja tetapi melaksanakan agresi kasatmata meentengkan beban bangsa, minimal dari diri sendiri daripada banyak bicara, mengomentari orang lain, tetapi tidak dibarengi dengan solusi dan agresi nyata. 

Semoga celotehanku ini menjadi renungan final tahun untuk Indonesia.