Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendidikan Karakter: Guru Dihentikan Melaksanakan Ini!

INIRUMAHPINTAR - Pendidikan huruf ialah sebuah gebrakan dalam memajukan kualitas pendidikan. Dan ide tersebut tentu saja mengacu pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang di dalam UUD Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 yaitu berkembangnya potensi akseptor didik semoga menjadi insan yang diberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, diberilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi masyarakat negara yang demokratis dan bertanggung jawaban.

Untuk mewujudkan hal tersebut tentu saja guru harus mempunyai profesionalisme dan integritas. sepertiyang yang tertuang dalam pasal 1 Undang-Undang tersebut di atas, guru wajib memposisikan diri sebagai pendidik profesional dengan kiprah utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi akseptor didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 

Jadi, jikalau ada yang beropini bahwa kiprah guru itu spesialuntuklah mengajar, maka itu yaitu kesalahan besar. Kemampuan pedagogik spesialuntuklah sebagian kecil dari kewajiban guru dalam pendidikan. Lebih dari itu, guru wajib menghadirkan nilai-nilai kepribadian yang luhur baik di dalam kelas, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat semoga tercapai tujuan pendidikan nasional.

melaluiataubersamaini kata lain, kiprah utama guru sebenarnya bukanlah semata-mata mencerdaskan anakdidik-anakdidiknya, melainkan menanamkan karakter-karakter nyata menyerupai ketaqwaan, budpekerti baik, kemandirian, kreatif, dan bisa menjadi pribadi-pribadi yang menghargai masyarakat negara lain, bisa hidup dengan demokratis dan penuh tanggung tanggapan sesuai kiprahnya di masyarakat kelak.

Hal-hal kecil menyerupai melatih kejujuran sepantasnya sudah tercermin dalam huruf guru di setiap proses pembelajaran. Misalnya, tidak membiarkan kebiasaan menyontek ketika ulangan. Mereka harus tegas dalam menegakkan hukum main dalam mendidik dan menanamkan huruf positif. 

Mereka pun wajib meyakinkan para akseptor didik bahwa mengerjakan ulangan secara berdikari tanpa bergantung dengan orang lain jauh lebih terhormat dan berwibawa daripada berhubungan atau menyontek. Meski memperoleh nilai rendah, jikalau itu yaitu hasil kerja keras sendiri, guru wajib mengapresiasi alasannya itu jauh lebih baik. Tanpa disadari, proses ini kemudian menjadi pondasi ketangguhan, kemandirian, dan kejujuran bagi perkembangan anak didik.

Apa artinya membuat generasi-generasi cerdas tapi tidak berkarakter. Apa gunanya melahirkan bawah umur bangsa yang pandai dan sehat secara fisik, tetapi mentalnya lemah dan simpel frustasi terhadap kerasnya kehidupan. Oleh alasannya itu, kehadiran guru sebenarnya untuk membangun huruf nyata sesuai tujuan roh pendidikan nasional.

Jadi, secara teori, tujuan pendidikan nasional Indonesia sangatlah baik. Lalu, mengapa masih banyak pejabat-pejabat bangsa yang koruptor? menyogok? atau dengan simpel menyinggung perasaan masyarakat negara yang lain? Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Mari kita renungkan bersama!

Selama masih ada guru-guru kita yang belum sejiwa dengan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan huruf yang sejatinya sudah mengakar dalam sanubari akseptor didik tinggallah angan-angan. Idealnya, guru itu dihentikan melaksanakan hal-hal yang salah. Mereka harus menjadi sosok nyaris sempurna, layaknya nabi atau rasul. Semua perkataan dan gerak-geriknya menjadi panutan dan intisari gaya hidup para anakdidik-anakdidiknya. Jadi, manusia-manusia yang terjerat kasus atau skandal besar di kala ini secara tidak eksklusif mengalami kegagalan penanaman karakter, entah itu dari gurunya, lingkungannya, atau dari orang tuanya.

Lalu, bagaimana mengatasinya? Tentu saja banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Tetapi itu bukanlah ranah kita. Sebagai guru, kita cukup berbuat yang terbaik, mengevaluasi sepak terjang kita selama berada di lingkungan sekolah dan di masyarakat. Berikut ini yaitu beberapa huruf yang harus Guru tinggalkan selama mendidik dan menanamkan nilai-nilai nyata di sekolah:

1. Jangan Marah!

Apapun kesalahan yang dilakukan akseptor didik, tidakboleh pernah murka kepada mereka. Guru sebaiknya menentukan cara lain yang lebih berterima. Jika mendidik dengan marah, maka akan melahirkan generasi-generasi yang keras kepala dan simpel memberontak. Jadi, mulai ketika ini lebih baik marahlah kepada diri sendiri dan bertanyalah, "mengapa anakdidik-anakdidik Anda bisa melaksanakan kesalahan?" Mungkin saja strategi, metode, pendekatan, atau model pembelajarannya yang kurang tepat.

Di sinilah kepribadian guru diuji. Apapun yang mempengaruhi, baik itu bersumber dari kesalahan siswa atau alasannya ada problem pribadi/keluarga, guru harus tetap harus tampil elegan dan memukau, menegur kesalahan siswa dengan kesantunan, menginspirasi, dan memotivasi mereka memperbaiki kesalahan dengan cara-cara lebih bijak.

Sekalipun harus marah, marahlah dengan terpuji. Jangan pernah melakukannya dengan membentak dan mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Dan ingatlah selalu bahwa mendidik itu memang butuh kesabaran. Bukankah Rasulullah pernah menasehati teman dekat, Jangan marah! sampai berulang kali alasannya murka itu yaitu simbol kelemahan. Jika ada yang tidak sanggup mengontrol amarahnya, artinya ia lemah dan takluk dengan hawa nafsunya.

Jadi, bagaimanapun keadaannya, guru dihentikan murka atau menampakkan amarahnya. Meskipun tidak gampang, inilah cara yang terbaik dalam menanamkan karakter-karakter dasar untuk bawah umur bangsa.

2. Jangan Terlambat!

Salah satu huruf yang baik yaitu hadir tepat waktu. Jadi, guru profesional baiknya tidak pernah mengizinkan dirinya hadir terlambat ke sekolah atau masuk ke kelas, bagaimanapun keadaannya. melaluiataubersamaini mempunyai huruf ini, para siswa pun ikut terinspirasi dan terkesan. Hasilnya, huruf siswa pun terbentuk.

Kebiasaan jam karet yang sering diperagakan orang-orang Indonesia yaitu bukti rendahnya nilai-nilai kedisiplinan. Mereka kurang menghargai waktu. Jika dibandingkan dengan para akademisi di negara-negara maju, kita mesti merasa malu. Salah satu misalnya yaitu ketika saya berguru di Amerika, walaupun harus melewati macet, beberapa lampu merah, berjalan kaki beberapa meter, menaiki lift beberapa lantai menuju kelas, guru-guru saya ketika itu tidak pernah terlambat sekalipun di jam mengajar mereka.

Hasilnya, ketika saya pulang ke Indonesia, huruf untuk hadir tepat waktu terus terbawa. Sayangnya, saya lupa bahwa di Indonesia itu beda. Pukul 7.30 bisa berkembang menjadi pukul 8.00 atau 8.30 di jam orang lain. Akibatnya, saya lebih sering menjadi penunggu kelas tanpa ada satu orang pun yang hadir. Hingga kemudian, saya memutuskan untuk kembali mengikuti ritme kedisiplinan di Indonesia, yaitu ngaret kecuali untuk acara mengajar dan hal-hal penting menyerupai rapat, seminar, dan kegiatan-kegiatan akademik lainnya.

Bahaya membiasakan hadir terlambat ke sekolah atau ke kelas mempunyai dampak yang luar biasa. Untuk memulainya, gurulah yang wajib menjaga konsistensi ini. Jika tidak, maka kebiasaan ini akan menjadi budaya yang susah diubah.

Dalam sebuah peribahasa bugis disebutkan bahwa, tellele bulu, tellele abiasang, iyapa nalele abiasang'e, abiasang topa palelei. Artinya, pegunungan tidak pernah berganti daerah atau berubah posisi, begitupun dengan kebiasaan, hampir mustahil untuk mengubahnya. Dan cara untuk mengubah kebiasaan yaitu dengan menggantinya dengan kebiasaan gres yang lebih baik.

Jadi, untuk mengubah kebiasaan ngaret atau hadir terlambat khususnya di lingkungan sekolah yaitu membiasakan hadir tepat waktu. Ala biasa alasannya biasa. melaluiataubersamaini adaptasi yang bermula dari guru, insya Allah, kelak para anakdidik akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang menghargai waktu.

Penutup

Walaupun singkat, semoga goresan pena ini sanggup menginspirasi kita menjadi semakin baik. Guru sanggup bertransformasi menjadi lebih profesional, pemimpin sanggup bereformasi lebih diberintegritas, dan seluruh rakyat Indonesia akan berevolusi menjadi pribadi-pribadi berkarakter sesuai tujuan pendidikan nasional.