Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad
Bunuh diri sebagai bentuk jihad, dipahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melaksanakan perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan baik jiwa dan raga. Oleh alasannya itulah, usaha atas nama Islam yang terformulasi menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut.
Mengambil istilah yang dipakai oleh Emile Durkheim yang memandang sikap bunuh diri diatas disebut sebagai Altruistic Suicide.
Pengorbanan diri yang dilakukan dalam bentuk perlawanan yang menjadikan kemungkinan ajal yang tinggi. Seperti, menyerang musuh sendirian di markas musuh, melakuakn peledakan/ agresi bom bunuh diri dan juga contoh-contoh yang semakna dengan peluang ajal sangat tinggi dalam tindakanya tindakannya tersebut. Intinya dimana dikala membela agama, tindakan mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara menuntut pengorbanan diri.
Dalam literatur Islam keinginan berpengaruh untuk mati dalam jihad diistilahkan dengan istisyhad. Kata Istisyhâd berarti thalab al-Syahadah atau mencari kesyahidan. Sedangkan orang yang meninggal dalam mencari kesyahidan di jalan Allah disebut dengan syahid.
Praktik istisyhad yang mempunyai kesamaan dengan intihar dilihat dari adanya intense untuk mati. Akan tetapi, intensi bukanlah hal yang simpel ditentukan. Intense mati dari istisyhad yaitu untuk melaksanakan perlawanan kepada musuh dan di dorong oleh rasa pengorbanan. Sedangkan intense mati dari intihar yaitu lantaran keterputusasaan dan untuk mengakhiri problem hidup. Untuk menghindari kesalahpahaman lantaran kedua istilah tersebut kadangkala dipakai secara bersama sehingga member kesan kalau keduanya yaitu sinonim.
Yusuf Qardhawi sebut perbedaan praktik Istisyhad dan intihar. Antara lain :
Pertama, Orang yang bunuh diri yaitu jawaban kegagalan dirinya dalam transaksi, cinta, ujian atau hal-hal lainnya. Ia tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan, kemudian tetapkan untuk lari dari kehidupan dengan menjemput kematian. Sementara Istisyhad, sama sekali tidak memandang kepentingan dirinya sendiri. Orang yang melaksanakan praktik syahid rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang besar. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ia memandang remeh segala pengorbanan. Ia menjual dirinya kepada Allah untuk membeli surga.
Kedua; Jika orang yang bunuh diri mati lantaran menghindar dan mundur lantaran takut, orang yang melaksanakan praktik syahid meninggal lantaran berani maju dan menyerang.
Ketiga; Jika orang yang bunuh diri tidak mempunyai tujuan selain lari dari pertarungan, sebaliknya orang yang melaksanakan praktik syahid mempunyai tujuan yang jelas, yaitu meraih ridho Allah Swt.
Pandangan ulama ihwal menyerang musuh tanpa ada keinginan untuk kembali hidup dimasukkan ke dalam tiga konsep untuk dipertimbangkan :
1) At-Tahlukah (melemparkan diri sendiri ke dalam kehancuran). Ibn Al-Arabi mengartikan al-Tahlukan antara lain; menolak berbuat lantaran Allah, melaksanakan jihad tanpa ketentuan, melalaikan jihad, menyerang musuh tanpa mempunyai alat yang diharapkan untuk menyerang, hilang keinginan akan pengampunan Allah.
Dalam rangka menyerang musuh tanpa memakai alat yang diharapkan untuk menyerang al-Arabi menyampaikan bahwa para ulama berselisih pendapat terkenanya. Akan tetapi para ulama setuju menentang agresi menghancurkan diri sendiri lantaran tidak kuatnya menanggung beban peperangan.
2) Al-Izzah (rasa mulia diri)
Al-Izz bin As-Salam beropini bahwa melarikan diri dari peperangan yaitu dosa besar. Tetapi bagaimanapun, hukumnya akan berubah yaitu wajib baginya untuk melarikan diri kalau orang itu tahu bahwa sisa peperangan akan menjadikan beliau terbunuh tanpa mengalahkan musuh. Kehilangan nyawa tanpa merugikan musuh atau member laba bagi Muslim spesialuntuk akan membawa kerugian bagi tentara Muslim dan hal ibarat itu tidak diperbolehkan.
Namun beberapa ulama mengharuskan ‘operasi mati syahid’ walaupun bila tidak menjadikan kerugian pada pihak musuh. Cukup saja bila ia sanggup memotivasi Muslim lainnya untuk menjadi berani dalam peperangan dan dalam waktu yang sama menanamkan rasa takut ke dalam pikiran musuh.
3) Al-Ithar (mengutamakan orang lain dan berkorban untuk mereka)
Islam menganjurkan Muslim untuk mengamalkan al-Ithar. Namun agresi individu mengorbankan nyawanya sendiri untuk melindungi orang lain berdasarkan pandangan Asy-Syathibi masih tetap menjadi problem yang diperselisihkan oleh para ulama. Operasi mati syahid dalam bentuk mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain sanggup diizinkan atau tidak. Walaupun begitu dasar argumen yang mengharuskannya, sanggup dilacak kembali kepada agresi para teman erat nabi, Abu Thalhah mengorbankan diri sendiri untuk melindungi Nabi dari serangan musuh di Perang Uhud.
Dari perbedaan itu, Yusuf Qardhawi sebut ihwal keabsahan praktik bom bunuh diri (istishadiyyah) yang dilakukan di Palestina. Bahwa praktik istishadiyyah yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina untuk melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam hal yang dihentikan dengan alasan apapun, walaupun yang menjadi korban yaitu penduduk sipil.
Istinbat aturan yang dipakai Yusuf Qardhawi dari kebolehannya melaksanakan praktik istisyhadiyyah bahwa praktik tersebut harus melihat keadanya dan kondisinya. Dalam kondisi darurat maka kaidah ushul yang menyatakan “keterpaksaan membolehkan larangan” yang berarti istisyhadiyyah sebagai bentuk dari keterpaksaan untuk melaksanakan perlawanan.
®
Kepustakaan:
Nawaf Hayil Takruri, al-Amaliyat al-Istisyhadiyah fi al-Mizan al-Fiqhi, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003). Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, dan Peranannya Pada Masa Rasulullah, (Yogyakarta, Tiara Wacanan Yogya, 2003). Hasbi Ash-Siddieqy, Al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).