Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gibranisme (Pemikiran Kahlil Gibran)

Gaya penulisan dan gaya ungkapan yang amat khas menempel atas diri Kahlil Gibran, yang terlegitimasi sejak dipercaya sebagai ketua organisasi Rabitah al-Qalamiyah. Melalui forum dan justifikasi para anggota Rabitah al-Qalamiyah ini, sering disebut sebagai Jubraniyah atau Gibranisme.
Ada tiga ciri khas dalam Gibranisme ini, yaitu:
  1. Memakai gaya simbolis dan kias dalam mengulas dan khususnya dalam mengKoreksi sesuatu.
  2. Romantisme, yakni kecenderungan terhadap kehidupan alami, sesuai dengan fitrah dan kodrat dimana perasaan digunakan sebagai dasar utama, dan menganalisa segala sesuatu dalam keindahannya.
  3. Tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan baku tata bahasa dalam mengungkapkan inspirasi sebagaimana khas para penyair.
Menilik pemikiran Gibran (Gibranisme) yang lebih menekankan keberadaan insan di dunia ini, dan menekankan sisi kemanusiaan dan martabat serta keluhurannya sebagai makhluk Tuhan, Gibran sering dianggap sebagai filsuf eksistensial.
melaluiataubersamaini ciri khas Gibran ini sering kali disebut eksistensialis akup kanan, yang mana tercermin dalam tiga bukunya, yakni: The prophet; yang meliputi relasi antara insan dengan sesamanya, dan The earth God; yang meliputi relasi antara insan dengan Tuhannya, dan The Garden of the Prophet; yang memuat relasi antara insan dengan alam.
Gibran beropini bahwa insan sebagai makhluk yang kompleks, ditandai oleh suatu dualisme dasar, yaitu disatu pihak insan sebagai makhluk Tuhan, dan dilain pihak ia yakni hasil dari alamnya. Untuk menanggapi dilema ini, ada dua hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama; untuk bertahan sebagai makhluk yang hidup, maka insan dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi kelanjutan hidupnya. Kedua; ialah kenyataan bahwa insan hidup bersama manusia-manusia yang lain, dimana hal ini mengambarkan sebagai kehidupan bermasyarakat. Gibran menganggap bahwa hidup bermasyarakat ini lebih terasa dan penting peranannya dibandingkan keharusan yang ditimbulkan oleh kodrat alamiah baginya.
Sebagai gerakan filsafat, eksistensialisme mempunyai karekteristik tertentu, tetapi sebagai pemikiran pemikiran manusia, dalam arti luas, eksistensialisme selalu hadir dalam filsafat sastra dan mistik. Sebagai filsafat juga, menyerupai perhatian Budha terhadap penderitaan manusia, memandang keberadaan insan sebagai subyek studi yang tepat. Tradisi humanism-mistisisme Gibran, menyarankan tidak spesialuntuk kemuliaan insan tetapi juga keilahian manusia. Karya-karya Gibran nyaris tiruana berbau gaib dan berciri profetik.
Pengalaman eksistensial bukanlah pengalaman analisis tetapi pengalaman yang kreatif yang mensintesakan dan memadukan. Filsafat kemuliaan akal insan yang didengungkan oleh kaum eksistensialis, nyaris sama dengan kemuliaan akal dan spiritual Gibran yang harus menjadi sumber bagi setiap hidup diatas bumi.
Aku tahu bahwa prinsip-prinsip yang mendasari goresan pena yakni gema semangat, alasannya yakni cenderung menuju kebebasan spiritual bagi kehidupan yang seolah jantung bagi tubuh. Ungkap Gibran dalam suratnya kepada Nakhli Gibran.
Persoalan humanisme yang diangkat Gibran dalam karya-karyanya, bersifat kompleks, alasannya yakni Gibran memakai kata “eksistensi” bukan spesialuntuk untuk jenis insan saja, tetapi terhadap benda-benda dan makhluk hidup lainnya.
Mengapa engkau berkata, oh benda mati? Sesudah sekian usang menghuni taman ini? Tidakkah kamu ketahui bahwa tiada yang mati disini? Segalanya hidup dan menyala sepengetahuan hari. Kau dan kerikil yakni satu. Perbedaan ada dalam degub jantung belaka. Jantungmu berdetak agak lebih cepat, bukankah begitu? Tapi tidak begitu tenang.” Tulisnya.
®
Kepustakaan:
M. Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj: Ali Audah, (Tinta Mas, Jakarta, 1982). Wahid Akhtar, Filsafat Eksistensialisme, (Dalam Jurnal al-Hikmah, Maret-Juni 1990).