Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Restitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengertian Restitusi

Kata restitusi dalam engkaus bahasa Indonesia yang berarti pembayaran kembali, ganti rugi; penyerahan kepingan pembayaran yang masih tersisa. Sedangkan dalam aturan pidana, restitusi ialah pembayaran ganti rugi yang mengatakan adanya pengertian akan penderitaan korban sesuatu tindak pidana, ganti rugi harus dibayarkan kepada korban atau hebat waris korban.
Istilah restitusi kepada korban kejahatan spesialuntuk ditetapkan dengan penerapan istilah “ganti kerugian”. Dalam KUHAP, ganti kerugian kepada korban tidak cukup didiberikan pengaturan yang memadai sebab spesialuntuk diatur dalam pasal 98 yang menyatakan bahwa pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang ialah suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut.
Pasal itu bisa dipahami, korban sanggup mengajukan somasi penggabungan somasi ganti kerugian. Ganti kerugian kepada korban ini spesialuntuk mencakup beberapa aspek ganti kerugian yang bersifat materiil, sementara ganti kerugian yang immateriil para korban harus mengajukan masalah secara perdata. melaluiataubersamaini demikian, pengaturan dalam KUHAP, donasi terhadap korban atas hak-haknya tidak mendapat cukup pengaturan kalau dibandingkan donasi kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.
Berbeda dengan kompensasi, bahwa kompensasi diminta atas dasar permintaan, dan kalau dikabulkan harus di bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban semoga di putus pengadilan dan kalau diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku tindak pidana itu. Karena hakikat perbedaan demikian masih belum direalisasikan dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran itu, sebab yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih lampau, kemudian menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban bila dikaitkan dengan sistem restitusi, dalam pengertian viktimologi ialah bekerjasama dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini diberindikasi pertanggungajawabanan pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam masalah pidana.
Menurut pendapat pakar aturan pidana Indonesia, Penetapan orang yang dirugikan itu didasarkan atas azas-azas aturan perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh aturan pidana disebut “si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Kaprikornus dalam duduk masalah ganti rugi dalam pidana harus dilihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai”, yaitu delik (tindak pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus diperhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa aib dan sebagainya.6 Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam aturan perdata hal ini sudah biasa, di situ dikenal apa yang disebut uang duka.

Unsur-Unsur dan Dasar Hukum Restitusi

Eksistensi dan posisi aturan korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, sebab terbentur dalam problem yang fundamental yakni korban spesialuntuk sebagai saksi (pelapor atau korban). Korban tidak termasuk dalam kepingan dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana dengan terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak memiliki upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, contohnya banding atau kasasi, apabila putusan pengadilan yang dipandang tidak adil atau merugikan dirinya.
Dalam kaitannya antara korban dengan unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, beberapa pendapat pakar hukum, terutama wacana ganti rugi atau restitusi korban tindak pidana, menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana ialah salah satu bentuk donasi aturan bagi tiruana masyarakat, bukan spesialuntuk mereka yang dituduh melanggar aturan pidana, tetapi masyarakat yang menjadi korban sebab pelanggaran aturan pidana. Hal ini bersama-sama tidak layak dibandingkan dengan penderitaan korban.
Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat di alami oleh korban tidak sanggup dimintakan ganti rugi melalui mekanisme pidana.
Hukuman pidana positif baik materiil maupun formil sudah mengatur terkena upaya donasi kejahatan melalui forum restitusi dan kompensasi antara lain dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat berdasarkan pasal 14c kitab undang-undang hukum pidana hakim sanggup memutuskan syarat khusus untuk mengganti kerugian baik tiruana atau sebagian yang timbul dari pidana yang dilakukanya.
Awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, juga sanggup dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka,
Kendala dalam pelaksanaan pasal 14c kitab undang-undang hukum pidana ialah penerapan dengan ganti rugi ini tidak sanggup didiberikan oleh hakim sebagai hukuman yang bangun sendiri disamping pidana pokok jadi sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakan atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;, penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian spesialuntuk sanggup didiberikan pidana paling usang satu tahun atau pidana kurungan, syarat khusus ganti kerugian inipun berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana spesialuntuk bersifat fakultatif (artinya tidak harus dipenuhi perbuatan melawan hukum) tidak bersifat imperatif (memaksa).
Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan mekanisme dalam proses peradilan pidana. Sementara rehabilitasi didiberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.10 Pasal 1 angka 22 KUHAP:
“Ganti kerugian ialah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang sebab ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau sebab kekeliruan terkena orangnya atau aturan yang diterapkan berdasarkan cara yang diatur dalam UU ini.”
Hak-hak terhadap korban kemudian semakin berpengaruh dan diakui dalam sistem aturan nasional dengan diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 wacana pengadilan HAM. UU ini mempersembahkan hak korban pelanggaran HAM yang berat untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, regulasi ini spesialuntuk ditujukan kepada para korban pelanggaran HAM yang berat, dan bukan untuk keseluruhan korban tindak pidana.
Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 menyatakan :
“Setiap korban pelanggaran hak asasi insan yang berat dan atau hebat warisnya sanggup memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.
Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi wacana kompensasi dan restitusi dalam UU No. 26 Tahun 2000 maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002. Sementara hak rehabilitasi dalam UU 26 tahun 2000 ditunjukkan kepada para korban dan bukan terhadap para tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002 wacana maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi:
“Kompensasi ialah ganti kerugian yang didiberikan oleh negara sebab pelaku tidak bisa mempersembahkan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabannya.”
®
Kepustakaan:
Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Reality Publisher, 2006). Theodora Syah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: UI Press, 2006). Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktek Restitusi dan Kompensasi di Indonesia, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007). Hendrojono, Kriminologi: Pengaruh Peru materi Masyarakat dan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Suparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana dilihat dari Sudut Viktimologi, (Majalah Hukum FH-UI tahun ke-XXII No. 260, Juli 2007). Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 wacana Pengadilan HAM, (Bandung: Citra Umbara, 2007)