Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Biografi Lanre Said Pendiri Pondok Pesantren Tuju Tuju

Lanre Said, salah seorang ulama Sulawesi Selatan, dilahirkan pada 1923 M. Tidak diketahui niscaya hari, tanggal, dan bulannya, di sebuah kampung berjulukan Ulunipa atau Mguara, Salomekko, Kabupaten Bone. Anak kedua dari tujuh bersaudara, dari pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dengan Andi Marhana Petta Uga. Nama kecilnya yaitu Andi Muhammad Said, namun setelah masuk di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), Sengkang, namanya dirubah oleh KH Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.
Dikisahkan, sebagaimana ditulis oleh Ilham Kadir bahwa ibunya pernah mendapat Lailatul Qadar dan berdoa semoga dikaruniai keturunan ulama tiruananya hafal al-Quran dan penghuni surga.
Lanre Said tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan didikan ayahnya. Sesudah berumur sepuluh tahun, ia dikirim berguru ke MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya Petta Haji Lesang yang sudah berguru disana. Dari tujuh bersaudara, tiruananya pernah berguru dan mondok di MAI Sengkang. Adik-adiknya yang turut serta mondok dan berguru di bawah asuhan KH Muhammad As’ad yaitu Petta Haji Sikki, Petta Haji Dollah, Petta Hj Sokku, Petta Lebbi, dan Andi Abdul Malik Petta Simpuang.
Lanre Said menghabiskan waktunya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah As’adiyah. Ia menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di As’adiyah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan kelas atau halaqah khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi tinggi. Pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus). Syekh yang pernah mengajar di sana ketiruananya berasal dari Timur Tengah. Dari penelusuran penulis, mereka yaitu Syekh Ahmad al Hafifi, ialah ulama jebolan al Azhar Cairo yang eksklusif dihadirkan dari negara asalanya, Mesir dan Syekh Sulaiman as Su’ud, ialah ulama yang dikirim eksklusif dari Mekah, Saudi Arabia.
Ketika umurnya yang menginjak 22 tahun, Lanre Said sudah menuntaskan seluruh jenjang pendidikan yang ada di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang. Tepatnya tahun 1945. Sesudah itu, ia mengajar pada almamaternya selama empat tahun, hingga 1949. Kemudian kembali ke kampung halamannya di Tuju-Tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di kawasan Sulawesi Selatan Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan kawasan yang dikuasainya ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. melaluiataubersamaini bergabungnya Qahhar Muzakkar ke dalam NII, secara otomatis jaenteng NII ini yang sudah diproklamirkan Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas. Untuk menopang usaha NII, Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang didiberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipakai untuk mempertahankan eksistensinya, termasuk menentang pasukan dan pemerintahan Republik Indonesia yang tidak oke wacana perjuangan, visi, dan misi NII.
Sejak pertama, setelah menuntaskan pendidikannya di MAI Sengkang, Lanre Said eksklusif terjun mengajar dan tidak tertarik dengan referensi usaha DI/TII. Namun, Lanre Said ikut bergabung dengan DI/TII di bawah komandan Qahhar Muzakkar alasannya yaitu terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Saat itu, sejumlah kawan-kawannya sudah lebih doloe bergabung dan mempersembahkan informasi kalau Lanre Said ialah salah satu alumni terbaik MAI Sengkang dan penguasaan aturan Syariah serta aneka macam macam disiplin ilmu lainnya sangat tinggi. Untuk itulah, walaupun berada nun jauh di pulau yang sangat terpencil itu, tetap saja berkali-kali anggota Qahhar Muzakkar hadir untuk mangajaknya ikut bergabung. Padahal, dikala itu alat transportasi dan komunikasi masih sangat langka.
Sesudah Qahhar Muzakkar ditetapkan terbunuh oleh pasukan siliwangi pada tahun 1965, secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya mengalah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, pada dikala itu, Lanre Said merasa mendapat angin segar dan leluasa mencari tempat untuk mendirikan forum pendidikan. Pada tahun ini juga, Lanre Said melaksanakan ekspedisi pertama. Dia berangkat dari Pulau Sembilan yang berjulukan Kanalo (Sinjai) dengan menumpang kapal barang disertai oleh 20 orang yang barasal dari veteran pasukan DI/TII, serta beberapa kerabatnya. Mereka menuju Pulau Kalimantan bab selatan, tepatnya di Kabupaten Kota Baru Kecamatan Pamukan Selatan, di sebuah kampung berjulukan Tanjung Salamantakan. Bermukim mengisi hari-harinya dengan aneka macam aktivitas sosial termasuk di antaranya berguru mengajar bagi penduduk setempat.
Sekitar tahun 1970, Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya ke sebuah pulau yaitu Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores. Dalam perjalanannya, misi utamanya tetap mencari tempat untuk mendirikan forum pendidikan. Tetapi apa yang didapatkan di kawasan ini ternyata lebih parah dari sebelumnya. Jika di kawasan Kalimantan para masyarakatnya bersikap masa ndeso terhadap pendidikan, di kawasan Sumbawa, Lombok, dan sekitarnya Lanre Said tidak didiberikan peluang untuk mengajar dan berdakwah.
Selama beberapa bulan disana, spesialuntuk diperkenankan naik mimbar sekitar dua kali saja. Bahkan, Lanre Said pernah dikepung akan dihabisi massa dengan tuduhan membuatkan pemikiran sesat. Dia dan beberapa pendamping setianya dikepung dalam mesjid. Namun menyerupai biasa, ada saja beberapa orang bepengaruh yang diutus oleh Allah untuk membelanya. Karena pembelanya ini tergolong jawara dan sangat kuat maka para massa ini pun ciut nyalinya dan balasannya bubar.
Tak lama, balasannya Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini beliau mencoba ke pulau Jawa, Surabaya, di tempat para saudaranya yang lebih doloe sudah merantau dan bermukim di kota satria ini. Berada di Surabaya jauh lebih nyaman dibanding beberapa tempat dan kampung halaman yang disinggahinya selama dalam perantauan. Di sana ia didiberi peluang dan keleluasan untuk mengajar dan berdakwah di beberapa mesjid. Hal ini sanggup dimengerti alasannya yaitu lebih banyak didominasi penduduk di kawasan tempat tinggalnya yaitu masyarakat penhadir juga atau heterogen dan mempunyai sumberdaya insan yang lebih tinggi dari pada territorial dakwah sebelumnya.
Lanre Said juga mengoptimalkan waktunya dan peluangnya untuk tetap mencari tempat yang sesuai dalam mendirikan forum pendidikan yang selama ini diidam-idamkannya. Dia pun melaksanakan kroscek dari satu kawasan ke kawasan lain hingga ke Jawa Barat tepatnya di kawasan Cirebon. Namun, hasilnya nihil alias tidak menggembirakan. Ini berlanjut hingga tahun 1973, Lanre Said pernah kembali ke Tuju-Tuju. Namun itu tidak berlangsung lama, sekadar mengantar keluarga dari istri keduanya yaitu Andi Nurhasanah Petta Cinnong ke Tuju-Tuju dan dua bulan kemudian kembali ke Surabaya hingga pertama tahun 1975.
Antara tahun 1973 dan 1975 tersebut, Lanre Said sudah merasa menemukan tempat yang sempurna untuk mendirikan forum pendidikan yang selama ini menjadi obsesi dan keinginan mulianya, yaitu kampung asal atau halamannya sendiri di Tuju-Tuju. Pada tahun-tahun ini jugalah beliau sudah menanamkan pengetahuan dan jiwa sosial yang tinggi kepada kedua istrinya yaitu Andi Nuhasanah Petta Cinnong dan Andi Banunah Petta Paccing (istri ke empat) yang dikala itu masih bermukim di Surabaya. Karena kelak kalau sudah mendirikan pondok maka harus betul-betul tulus memelihara dan mendidik para santri.
Akhirnya pada pertama 1975, Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-Tuju dan pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-Tuju dengan tujuh santri, sebuah forum pendidikan lahir dengan nama Majelisul Qurra wal Huffaz. Dan mimpi itu pun terwujud menjadi sebuah kenyataan.
®
Kepustakaan:
Ilham Kadir Palimai,Jejak Dakwah KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi, (Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010). Rohadi Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal, Modern, hingga Post Modern, (Jakarta: Listafariska, 2008). Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Muzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak, (Jakarta: Ombak, 2004).