Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Harut Dan Marut Dalam Qs. Al-Baqarah: 102) Berdasarkan Penafsiran Ulama

Harut berasal dari kata harata yang berarti mencela, mencerca, menjadi luas, orang yang tak sanggup menyimpan belakang layar dan berkata keji serta yang lebar sudut bibirnya. Sedangkan Marut berasal dari kata al-martu, yang berarti tanah lapang yang tak bertumbuh-tumbuhan, tanah tak bertumbuh-tumbuhan serta tubuh yang tak berambut.
Ibnu Saiyidah menyatakan bahwa kata tersebut mengandung makna kehormatan serta pakaian yang disandangnya sudah terkoyak-koyak. Ibnu Muqbal menambahkan bahwa dikala membentuk kata hurta memiliki makna insan yang lebar mulutnya. Ketika membentuk kata harit memiliki makna orang yang tak sanggup menyimpan belakang layar serta berkata jelek. Sedangkan kata Harut sendiri ada dua kemungkinan, yaitu nama suatu malaikat dan raja. Adapun pendapat yang lebih popular ialah malaikat.
Ketika al-Quran menyebut bahwa: “kami ialah fitnah,” maksudnya ialah insan diciptakan untuk dijadikan ujian, karenanya tidakbolehlah mengakibatkan kufur di antara kalian. Manusia diciptakan dalam keadaan diuji, entah dengan dosa, kemudian taubat, kembali lagi berbuat dosa kemudian taubat. Ibnu al-Arabi menyampaikan bahwa fitnah yang dimaksudkan ialah pengetahuan (ilmu pengetahuan), ujian, harta benda, anak-anak, kufur, perbedaan pendapat di antara insan serta terbakarnya di api neraka.
Adapun kata Marut sendiri dari kata al-Martu yang berarti kebahagiaan tanpa hasil atau tanah gersang (tanah yang tidak ada tumbuh-tumbahan sama sekali) maupun tubuh yang tak berambut/berbulu. Sedangkan kata Marut sendiri termasuk nama non Arab. Kata al-Marmarit sendiri memiliki arti peristiwa alam atau peristiwa yang hebat. Artinya Marut ialah orang yang membawa peristiwa yang besar.
Al-Ashfahani mengemukakan bahwa Harut dan Marut terdapat dua pendapat, yaitu dua malaikat, sedangkan mufasir lainnya menyampaikan sebagai suatu nama setan. Pendapat terakhir didukung oleh Abu Muslim al-Ashfahani serta al-Qurthubi. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan orang-orang Yahudi yang mengemukakan bahwa Allah sudah menurunkan Jibril dan Mikail dengan membawa sihir, alhasil Allah menampik tuduhan tersebut.
Dilihat dari struktur kalimat ayat tersebut susunannya ialah dan tidaklah Sulaiman kafir serta apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut, akan tetapi yang kafir ialah setan yang mengajarkan insan wacana sihir di Babil. Adapun Harut dan Marut ialah pengganti (substitute) dari setan.
Berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad Ali sebagaimana yang dikutip oleh Umar Hasyim menyatakan bahwa dlamir (kata ganti) huma kepada dua masalah, yaitu pertama kepada Nabi Sulaiman dan Jin Ifrit dan kedua kembali kepada malaikat Harut Marut. Sedangkan abjad ma, ialah ma nafi, jadi berarti bahwa ilmu sihir itu tidak diturunkan kepada kedua malaikat Harut dan Marut.
Hal senada juga disampaikan Muhyiddin al-Darwisyi Harut Marut ialah badal (kata ganti) dari kata Malakain. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa ayat 102 dari surat al-Baqarah ialah kepingan dari ragam balaghah yang menyampaikan kepastian suatu ilmu, yaitu sihir serta adanya jimat-jimat, walaupun pada alhasil Allah menegaskan Sulaiman serta melarang beredarnya ilmu tersebut. Artinya intinya tiruana ilmu ialah Allah yang menurunkan dan boleh dilaksanakan, kecuali sihir yang sudah mendapat perintah sebagai suatu ilmu yang dilarang.
Al-Zamakhsyari beropini bahwa lafadh harut marut ialah mengikuti (athaf) lafadh sebelumnya, yaitu sihir, sehingga keduanya ialah badal (pengganti) dari lafadh Malakain. Ini artinya keduanya ialah orang yang diturunkan Allah sebagai ujian kepada manusia, yaitu dengan membawa sihir. Oleh karenanya barangsiapa yang mempelajari serta mengamalkan sihir berarti kafir, demikian juga jikalau ada orang yang menjahui atau mempelajarinya akan tetapi tidak untuk diamalkan, maka orang tersebut masuh dalam kondisi mukmin.
Al-Zuhaili juga memaparkan beberapa pendapat wacana eksistensi Harut dan Marut. Ayat wa ma unzila terdapat dua pendapat, yang pertama ialah athaf (mengikuti obyek) pada kalimat sihr, kedua ialah athaf pada ma tatluw al-syayathin. Adapun yang ketiga ialah menempati posisi Jar sebab mengikuti obyek Mulki Sulaiman.
®
Kepustakaan:
Muhyiddin al-Darwisyi, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu, (Dar al-Irsyad li al-Syu’un al-Jami’iyah: Suriyah, 1994). Al-Qanuji, Abjad al-Ulum, Abu al-Nur, (Damaskus dalam Dar al-Hadits, t.th). Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progressif, Surabaya, 1997).