Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsekuensi Takwil Berdasarkan Ulama

Banyak ulama dalam mengulas wacana konsep takwil, menggambarkan bahu-membahu takwil sebagai sebuah pendekatan, mempunyai beberapa konsekuensi. Konsekuensi takwil yang dimaksud, yaitu:
Menurut Abu Zahrah takwil yaitu mengeluarkan lafadz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu. melaluiataubersamaini bahasa lain: Pertama, Lafadz itu tidak lagi difahami berdasarkan arti lahir. Kedua, Arti yang dipahami dari lafadz itu yaitu arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh arti zahir lafadz itu. Ketiga, Peralihan dari arti zahir kepada arti lain itu menyandarkan kepada petunjuk dalil yang ada.
Takwil akan merubah pemahaman literal terhadap teks ayat al-Quran, yang mana pemahaman literal itu tidak jarang menjadikan dilema atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi dikala pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Al-Jahiz (w. 225 11/868 M), memperkenalkan makna metaforis pada ayat-ayat al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa ia sudah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga bisa menuntaskan sekian banyak dilema pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu. Tokoh lain dalam bidang ini yaitu anakdidik al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 11/ 889 M).
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-takwil-an ayat-ayat al-Quran: Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang mempunyai otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus sudah dikenal secara terkenal oleh masyarakat Arab pada masa pertama.
Dalam syarat al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/ musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang ketiruana maknanya sanggup dipakai bagi pengertian teks tersebut selama tidak berperihalan satu dengan lainnya.
®
Kepustakaan:
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung, Mizan, 1996). Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fil Ulum al-Qur'an, Terj. LkiS Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, (Yogyakarta: LkiS, 2002).