Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Metafisika Plotinus; Esa, Logos, Dan Soul

Metafisika Plotinus berangkat dari suatu Trinitas Suci; Yang Esa, Ruh dan Jiwa. Yang Esa ialah tertinggi, Ruh ditempat diberikutnya dan jiwa yang terakhir. Yang Esa atau Yang Pertama ialah sosok yang memiliki tingkatan tertinggi dari tiruana tingkatan wujud ini. Dia esa dari segala segi, dalam hakekat maupun dalam gambaran pikiran kita. Tidak ada pluralitas di dalam zat-Nya. Oleh alasannya ialah itu Ia mutlak dalam keesaan-Nya, Ia merajai segala wujud yang bersumber dari-Nya. Kita dihentikan menerapkan predikat padanya, kecuali spesialuntuk menyampaikan Dia. Dan Dialah yang kita sebut Tuhan. Tuhan sebagai segalanya alasannya ialah Dia mengatasi segalanya. Tuhan hadir dalam setiap hal. Yang Esa sanggup hadir tanpa harus tiba: sementara Dia di mana-mana Diapun tak di mana-mana. Dikatakan bahwa Tuhan tidak bergantung kepada apa yang tercipta dari-Nya. Yang Esa tak terdefinisikan.
Dalam mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, maka Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran insan yang sanggup menjadikan pluralitas, meskipun spesialuntuk dalam gambaran fikiran kita. lantaran itu Plotinus menyampaikan bahwa Ia berada di luar wujud dan di luar alam pikiran (tidak sama dengan yang ada dalam pikiran dan tidak sanggup difikirkan). Meskipun Plotinus berusaha untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang sanggup mempengaruhi keesaan-Nya, namun Ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat kebaikan meskipun tidak dimaksudkan bahwa sifat kebaikan itu bangun sendiri, tetapi kebaikan itu ialah hakekat zat Tuhan sendiri. Makara zat dan kebaikan ialah satu kesatuan. Akan tetapi persifatan ini tidak sanggup mengelakkan adanya pluralitas alasannya ialah kebaikan mengandung arti bekas dari yang didiberi kebaikan.
Plotinus tetap mempertahankan keesan-Nya dengan menyampaikan bahwa Dia bukan akal. Hal ini bukan berarti bahwa Ia tidak pantas menduduki daerah yang tertinggi sebagai wujud yang sempurna. Ia tidak sama dengan insan lantaran kesempurnaan-Nya terletak pada keesaan-Nya dari banyak sekali segi, dan tidak tepat apa yang dikehendaki insan untuk-Nya, atau sifat-sifat yang didiberikan kepada-Nya.
Yang Esa atau yang pertama ialah alasannya ialah kuantitas bukan akal, bukan jiwa, bukan dalam bergerak, bukan pula dalam hening terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang Esa itu ialah permulaan dan alasannya ialah yang pertama dari segala yang ada. Ia disifati dengan kebaikan semata-mata, tetapi kebaikannya itu ialah zat sendiri, bukan asuatu sifat yang bangun padanya, sehingga dengan demikian tidak perlu menjadikan bilangan sama sekali. melaluiataubersamaini teori mempertahankan anutan Yang Esa inilah Plotinus dikenal sebagai pendiri teori Yang Esa.
Selanjutnya dalam membuktikan sifat-sifat Akal (Mind) atau Logos itu Plotinus beranggapan:
  1. Keluar eksklusif dari Yang Pertama dan kedudukannya dalam wujud ini ialah sesuatu yang pertama. Keesaan-Nya dari segala segi menjadi berbilang dengan akal, alasannya ialah dengan adanya akal, maka ada lagi yang menjadi obyek pemikiran.
  2. Akal keluar dari Yang Pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana wujud aneh lainnya.
  3. Keluarnya nalar dari Yang Pertama tidak mempengaruhi kesempurnaan-Nya, demikian keluarnya yang kurang tepat dari yang lebih sempurna. Kesempurnaan ini tidak terpengaruh, alasannya ialah apa yang keluar dari pada-Nya, dan kepada-Nya pula bergantung.
  4. Akal keluar dari Yang Pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung suatu paksaan atau perubahan pada-Nya. Plotinus mengqiyaskan yang pertama dengan matahari, yang menyinari alam sekelilingnya tanpa mempengaruhi keadaannya sendiri.
Kemudian kita menginjak pada pribadi yang ketiga yang disebut Soul. Soul ialah anggota Trinitas yang terendah, Soul ialah pencipta segala yag hidup, ia bermetamorfosis sebagai materi atau benda kasat mata. Ia ialah sumber intelek Ilahi, Ia bersifat ganda, ada jiwa serpihan dalam, yang terarah pada Logos, dan satunya lagi, menghadap ke wilayah eksternal. Sifat tersebut berkaitan dengan gerak menurun, di mana jiwa melahirkan citranya, ialah alam dan dunia inderawi atau dunia materi. Materi di luar hakikat disebabkan oleh ketidaksempurnaan, sedangkan alam aneh tiruananya ialah hakekat dan materi ialah refleksinya. Demikian pula dengan alam ini; ia tidak punya hakekat dan tidak sempurna. Hakikat dan kesempurnaan yang ada padanya spesialuntuklah bayangan belaka, atau salinan dari alam abstrak. Materi menjadi tidak tepat dan belum sempurnanya, lantaran ia mata rantai terendah, kebalikan Yang Pertama yang ialah mata rantai tertinggi dan puncaknya. Sinar yang keluar dari Yang Pertama melalui jiwa berangsur-angsur manjadi petang. Pikiran Plotinus juga tidak terlepas dari Plato yang menyampaikan bahwa alam lahir ini ialah gambaran dari alam idea atau alam nonmateri, dan dunia kasat mata indah sebagai daerah tinggal ruh yang diberkati.
Sedangkan sifat-sifat Soul (jiwa alam) adalah:
  1. Jiwa alam memandang sebagai yang menciptakannya, dan jiwa alam tersebut memdiberi sinar kepada alam inderawi (sensual world) dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
  2. Kedudukan jiwa alam ialah sehabis akal, dan ialah simpulan wujud alam abstrak, serta menjadi penghubung antara alam inderawi dengan alam gaib atau alam ketuhanan.
  3. Karena kedudukannya itu, maka jiwa alam dari satu segi terbagi, dan ialah suatu yang abstrak. Ia tidak terbagi berdasarkan banyaknya tempat, tetapi terbagi lantaran ia termasuk alam inderawi dan terdapat di mana-mana, meskipun wujud tersebut ialah wujud keseluruhan tanpa dibagi-bagi, sebagai wujud yang menggerakkan dan sebagai kekuatan pemeliharaan. Karena sifatnya itu, yaitu sanggup dibagi dan tidak terbagi, maka Plotinus tidak menganggap jiwa alam tergolong dalam alam azali.
Perwujudan jiwa alam yang demikan menimbulkan Plotinus menyatakan ada dua macam jiwa; 1) Jiwa yang tidak berafiliasi eksklusif dengan alam inderawi yakni jiwa yang diikat dengan Mind, 2) Jiwa yang ialah wakil dari jiwa Yang Pertama yang menjadikan alam inderawi dan disebut adab alam.
Dari uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa, Pertama: Yang Esa, Logos, Soul sebagai rangkaian wujud. Keluarnya Soul dari Logos, keluarnya Logos dari Yang Esa, maka terjadilah kesatuan wujud yang pada pokoknya berasal dari Yang Esa. Kedua: Adanya ketentuan tingkatan wujud, maka tingkatan yang rendah lebih sedikit cahayanya dan hakekat serta kebaikannya daripada tingkatan wujud yang berada di atasnya. Dari cahaya hakekat, dan kebaikan tersebut menjadi petang, ketiadaan dan keburukan. Kemudian dari keesaan menjadi terbilang. Perubahan ini tidak menjadikan perlawanan, lantaran dalam rangkaian wujud tidak ada wujud yang bebas dan terpisah dari yang lain. Ketiga: meski alam ini terbagi menjadi dua yaitu serpihan yang menuju ke atas dan satu serpihan lagi menuju ke bawah, maka materi juga tepat kerapian itu terletak pada kerapian susunan yang universal pada keseluruhan, bukan terletak pada pemeliharaan yang terdapat pada bagian-bagiannya.
Di samping itu pula dari uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa pemikiran Plotinus ialah perpaduan antara filsafat Plato (Idea kebaikan tertinggi) dengan didiberi penitikberatan kepada upaya pencarian pengalaman batiniah untuk menuju kesatuan dengan Tuhan (Yang Esa). Tuhan ialah isi dan titik tolak pemikirannya, maka Tuhan dianggap sebagai kebaikan tertiggi dan sekaligus menjadi tujuan tiruana kehendak. melaluiataubersamaini demikian makhluk berdasarkan Plotinus bukanlah ciptaan Tuhan tetapi pancaran Tuhan.
Segala sesuatu (termasuk manusia) itu timbul dengan sendirinya dari pancaran Tuhan maka kiprah insan ialah kembali ke asalnya yaitu Tuhan. Makara tujuan hidup insan berdasarkan Plotinus ialah kesatuan kembali antara insan dan Ilahi. Untuk sanggup kembali bersatu dengan Ilahi, insan harus melalui tiga tahapan, yaitu melaksanakan kebajikan umum, berfilsafat dan mistik. Menurut Plotinus makhluk bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan pancaran-Nya. Dari pancaran tersebut kemudian timbullah beberapa hal. Yang timbul pertama kali dari Yang Esa ialah roh, yaitu yang menjiwai alam semesta. Dan dari roh kemudianlah materi. Dari perkembangan tersebut, berdasarkan Plotinus bahwa kiprah insan ialah kembali kepada Tuhan. Dan jikalau insan tertarik kepada dunia dan terlena terhadapnya maka ia akan lupa terhadap derajat sejatinya. Sebaliknya jikalau ia sanggup memendangi keindahan yang terbentang di dunia denga sewajarnya, dapatlah ia naik untuk memandang idea dan kemudian idea yang satu, yaitu Tuhan Yang Esa.
Sebagai tujuan hidup insan dikatakan mencapai persatuan dengan Tuhan. Budi yang tertinggi ialah mensucikan roh. Mensucikan roh itu ialah satu-satunya jalan menuju kemurnian. Manusia harus berpaling dari keduniawian untuk mencapai keindahan dalam realita ini. Benda yang ada disekitar hidup insan hendaklah diabaikan sama sekali dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup di lingkungan rohaniah dan alam pikiran. Hanya dalam alam rohaniah dan alam pikiran itulah jiwa sanggup melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, dengan perjuangan memurnikan diri dari keduniawian dibutuhkan insan akan cepat mencapai keindahan dunia, kemudian cepat mencapai kindahan idea. Ini spesialuntuk sanggup dicapai dengan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa keluar dari diri sendiri dengan ekstase. Dan apabila insan sanggup memurnikan dirinya dengan cara menjahui keduniawian, maka insan pasti akan sanggup bersatu dengan Tuhan.
®