Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nikah Mut'ah Berdasarkan Majelis Ulama Indonesia (Mui)

Menurut pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), lebih banyak didominasi umat Islam Indonesia yaitu penganut paham Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) yang tidak mengakui atau menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya wacana nikah Mutah secara khusus.
Adapun yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tikad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw. dan sahabat dekat-teman bersahabat beliau. Itikad Nabi dan sahabat dekat-teman bersahabat itu sudah termaktub dalam al-Quran dan sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama ushuluddin, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al-Asyari. Karena itu ada orang yang memdiberi nama kepada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dengan kaum Asy’ariah, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan Ali al-Asy’ari. Dalam kitab-kitab ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunniyah yang ialah kependekan dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah .
Menurut pendapat Ahmad Zein al-Kaf, bahwa lampau di zaman Rasulullah saw. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan golongan itu, tidak ada syi’ah ini dan tidak ada Syi’ah itu. Semua di bawah pimpinan dan komando Rasulullah saw. Bila ada dilema atau beda pendapat antara para sahabat dekat, mereka pribadi hadir kepada Rasulullah saw. Itulah yang membuat para sahabat bersahabat ketika itu tidak hingga terpecah belah, baik dalam dilema akidah, maupun dalam urusan dunia. Sesudah Rasulullah saw wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi ketika Imam Ali menjadi khalifah.
Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa dengan melaksanakan nikah mut’ah seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, lantaran perempuan yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, alasannya yaitu mut’ah itu tidak menimbulkan perempuan berstatus sebagai istri dan tidak pula berstatus jariyah.
Pernyataan ini sanggup dipahami menjatuhkan derajat wanita. Padahal perempuan yaitu makhluk yang dimuliakan Allah, lantaran diciptakan Allah semoga menjadi ibu yang akan melahirkan generasi yang diperlukan untuk kemajuan bangsa dan agama. Tetapi dengan nikah mut’ah statusnya menjadi tidak jelas.
Perempuan sebelum Islam tidak mempunyai suplemen apapun, dirampas haknya, diperjual belikan ibarat budak, dan sanggup diwariskan tetapi dihentikan mewarisi. Bahkan sebagian bangsa melaksanakan hal itu terus-menerus dan menganggap perempuan tidak punya ruh, hidup dengan kematiannya dan tidak tunduk pada syariat, tidak sama dengan laki-laki, dan nikah mut’ah mengabaikan pengangkatan derajat perempuan ibarat sehabis kehadiran Rasul saw.
Majelis Ulama Indonesia juga memandang bahwa nikah mut’ah berperihalan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah (Negara Republik Indonesia), antara lain UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini apabila tidak segera diatasi, maka semakin menambah kekhawatiran dan keresahan pada orang-orang bau tanah lantaran yang banyak melaksanakan yaitu dari kalangan cowok dan mahasiswa.
Pelaku Nikah Mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada seminar nikah mut’ah yang digagas IMMIM dan Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin di Gedung Islamic center IMMIN 2010, Mahatir Mahbub menulis dengan topik Pemerintah Harus Atur Regulasi wacana hal itu. M. Quraish Shihab dalam penjelasannya menyampaikan bahwa apabila diperdebatkan dilema dalil nikah mut’ah, maka hal itu tidak akan pernah berujung. Oleh lantaran itu seharusnya yang perlu dilakukan yaitu bagaimana menyesuaikan aturan syari’at ini sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat demi mencapai kemaslahatan umat.
Oleh alasannya yaitu itu, unsur dalam kebijakan tadi tidak terpenuhi satupun dalam nikah mut’ah, maka tidak ada satu alasan lagi untuk tidak menolak ataupun melarang jenis ijab kabul ini. Buktinya ijab kabul jenis ini spesialuntuk menyisahkan kesengsaraan bagi sebagian bawah umur yang membutuhkan belaian kasih akung orang tua. Begitu pula dengan perempuan yang membutuhkan pengayoman, derma suaminya secara batin maupun lahir.
Menurut Quraish Shihab bahwa ijab kabul apapun nama dan alasannya, tidak sanggup mencapai pulau kebahagiaan jikalau tidak disertai niat ingin hidup bersama dalam kebahagiaan yang abadi. Oleh lantaran itu tidaklah masuk akal dinamai ijab kabul jikalau semenjak pertama sudah ada niat untuk membatalkan pada waktu tertentu, lantaran ketika itu yang ada spesialuntuklah memenuhi kebutuhan sesaat.
Selanjutnya Quraish Shihab menyampaikan bahwa nikah mut’ah yang ialah relasi seksual yang diputuskan batas waktunya itu tidaklah sejalan dengan tujuan ijab kabul yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan Sunnah, yakni bersifat abadi, sehidup semati, bahkan hingga hari kemudian.
®
Kepustakaan:
Sirajuddin Akbar, I’tikad Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1980). Ahmad Zen al-Kaf. Dialog Apa dan Siapa Syi’ah (Surabaya: Pustaka al-Bayyinah, 2005). Abdar, Rasal Abdul Hasan, Al-Qattam, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modis (Bandung. Pustaka Hidayah 1989). Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979). Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Sentuhan Nilai Kefikihan Untuk Wanita (Jakarta, Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, 2003). Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz As-Shari (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta hingga Seks dari Nikah Mut’ah hingga Nikah Sunnah dari Bias Lama hingga Bias Baru, (Jakart: Lentera Hati, 2005).