Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Singkat Perkembangan Madrasah Di Indonesia

Munculnya Sekolah Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia, yang selanjutnya bisa disebut dengan madrasah yaitu Madrasah Adabiyah di Padang Panjang (Sumatra Barat) oleh Syeh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Madrasah di Indonesia jauh tidak sama dengan madrasah di sentra lahirnya Aagama Islam (di Arab atau di Timur Tengah). Keadaan madrasah di Indonesia ialah fenomena modern yang muncul pada pertama era ke-20.16 melaluiataubersamaini perkataan lain, lahirnya madrasah di Indonesia yaitu hasil tarik menarikdanunik antara pesantren sebagai forum pendidikan orisinil (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan barat (modern) di sisi lain.
Jika di Timur Tengah, madrasah yaitu forum pendidikan yang mempersembahkan pelajaran agama tingkat lanjut, madrasah di Indonesia lebih mengacu pada forum pendidikan yang mempersembahkan pelajaran Agama tingkat rendah dan menengah. Perkembangannya diperkirakan lebih ialah reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar forum pendidikan yang secara tradisional sudah ada, terutama munculnya pendidikan modern Barat.

Faktor-faktor Munculnya Madrasah

Faktor munculnya madrasah sebagai forum pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan sudah berusia satu era lebih, dalam pandangan Mehdi Nakosteen, dalam buku “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasa Islam”, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Idi dan Toto Suharto dalam buku “Revitalisasi Pendidikan Islam”, madrasah muncul alasannya yaitu dua faktor: pertama: Faktor internal. Secara internal madrasah muncul alasannya yaitu proses pendidikan dari lembaga-lembaga sebelumnya yaitu: surau, kuttab, masjid dan masjid khan. Dalam pandangan Mehdi Nakosteen, disebutkan bahwa:
Secara internal, proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan di Kuttab, masjid, dan masjid-khan mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, Kurikulum dan kemudahan pada lembaga-lembaga tersebut dipandang belum bisa mendukung terciptanya proses pendidikan yang memadahi. Kedua, adanya perperihalan antara tujuan pendidikan dan tujuan Agama pada ketiga forum tersebut hampir tidak sanggup dikompromikan. Ketiga, Tujuan pendidikan mempunyai konsekuensi pada acara yang cenderung mengakibatkan suasana hiruk-pikuk. Keempat, kegiatan ibadah (sebagai tujuan Agama) di masjid menghendaki suasana damai dan penuh kekhusyuan.
Kedua: Faktor eksternal. Secara eksternal, kemajuan ilmu pengetahuan menuntut adanya sistem penpenghasilanan bagi mereka yang mencari penghidupan melalui dunia pendidikan. Secara lebih lengkap, Mahmud Yunus, dalam buku Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, ada empat faktor eksternal yang mendasari munculnya madrasah, yaitu: a) Faktor politik. Para penguasa menarikdanunik hati rakyat dengan jalan memajukan Agama dan mementingkan pendidikan. Untuk tujuan politis tersebut, penguasa tidak segan-segan mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membangun madrasah. b) Faktor religius. Para penguasa yang hidup dengan kemewahan bermaksud bersedekah dan menyiarkan Agama Islam dengan jalan mendirikan madrasah dengan harapan biar mendapat pahala dari Allah. c) Faktor ekonomi. Para penguasa dan orang-orang kaya mewakafkan harta mereka untuk pembangunan madrasah, dengan syarat pengelolaannya yaitu putera-putera mereka secara turun-temurun. melaluiataubersamaini demikian, kehidupan ekonomi para keturunan tersebut sanggup terjamin. d) Faktor fanatisme. Perperihalan antara kaum Sunni dan Syi’ah membuat masing-masing pihak berlomba mendirikan madrasah sebagai alat untuk memperkuat aliran keagamaan masing-masing.

Tokoh dan Organisasi dalam Pembaruan Pendidikan Madrasah

Madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, sehingga dalam penelusuran perkembangannya kita harus menelusuri dari banyak sekali jejak pembaruan sistem pendidikan Islam baik yang dilakukan secara langsung oleh pemimpin-pemimpin Islam, maupun yang dilakukan secara institusional melalui organisasi-organisasi sosial-keagamaan.
Berkenaan dengan pembaruan, Iqbal menyatakan bahwa contoh pikir dan perilaku pandang kaum Muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan contoh pikir dan perilaku pandang kaum Muslim ke pertama kemurnian Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Dari perkembangan semenjak pertama berdirinya sampai berkembangnya madrasah selanjutnya, secara umum sanggup di tandaskan bahwa para tokoh yang berjasa dalam perkembangan madrasah yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Abdur Rachman Shaleh yaitu para ulama yang berjasa dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain: Syaikh Abdullah Ahmad (1907) di Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, K.H. Wahab Hasbullah bersama K.H. Mas Mansyur (1914) di Surabaya, Rangkayo Rahmah Al-Yunusi (1915) di Padang Panjang, K.H. Hasyim Ashari (1919) mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.

Perkembangan Madrasah di Indonesia

Pada masa pertama berkembangnya Agama Islam di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari bidang pendidikan dan pengajaran. Islam mempunyai lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran yang diwariskan dari masyarakat Bangsa Arab pada masa itu.
Kemudian untuk kepentingan pengajaran, menulis dan membaca bagi belum dewasa yang sekaligus bisa mempersembahkan pelajaran al-Quran dan Dasar-Dasar Agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid, biar belum dewasa tidak mengganggu ketenangan dan kemembersihkanan Masjid.
Untuk perkembangan selanjutnya, muncullah sistem pendidikan dengan sistem klasikal dan berkelas yang selanjutnya disebut dengan ”madrasah”. Madrasah atau sekolah Agama yang didirikan pertama yaitu madrasah atau sekolah Adabiyah di Padang Panjang (Sumatera Barat), oleh Syeih Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M.
Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, pertumbuhan dan perkembangan sistem pendidikan madrasah tersebut intinya dipengaruhi dan didorong oleh adanya perkembangan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan sekaligus sebagai imbangan terhadap sistem pendidikan Kolonial yang tidak sesuai dan bahkan berperihalan dengan impian umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Pembinaan madrasah mengarah kepada pengintegrasian ke Sistem Pendidikan Nasional tolong-menolong dengan sekolah umum, sebagaimana diamanatkan oleh Unndang-Undang Dasar 1945 yang menghendaki adanya satu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat Nasional, maka dalam konteks perkembangan madrasah, Kementrian Agama menjadi referensi untuk sanggup mengangkat posisi madrasah, sehingga mendapat perhatian para pengambil kebijakan. Salah satunya yaitu didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)29 yang kemudian diikuti berdirinya madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia seraya terus berusaha untuk membenahi madrasah sebagai penggalan dari komponen pendidikan nasional dan mencari format madrasah yang tepat.
melaluiataubersamaini demikian pemerintah bisa berharap bahwa madrasah bisa melaksanakan amanat UU-PPP No. 4/1950 tentang kewajiban belajar. Dalam UU tersebut pasal 10 ayat 2 ditetapkan bahwa; berguru di sekolah-sekolah agama yang sudah mendapat pengukuhan dari Departemen Agama dianggap sudah memenuhi kewajiban belajar. Untuk itu, pemerintah menggariskan akal bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar, harus terdaftar pada Kementerian Agama. Syarat yang harus dipenuhi untuk itu yaitu bahwa madrasah yang bersangkutan harus mempersembahkan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu atau 25 persen dari seluruh mata pelajaran.
Untuk mencapai ke dalam sistem pendidikan Nasional, madrasah tetap diupayakan dengan jalan menyusun contoh dan penjentidakboleh serta isi (kurikulum) yang mendekati sesuai dengan sekolah-sekolah umum. Secara berangsur-angsur alhasil madrasah terus berkembang mengikuti tipe sekolah umum dengan keseimbangan mata pelajaran dengan pengukuhan formal dari departemen pendidikan dan kebudayaan. Pengakuan ini didukung dengan dikeluarkannya surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, yang selanjutnya disebut SKB 3 Menteri; yaitu keputusan Nomor 6/1975 tentang “Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah”. melaluiataubersamaini alasan bahwa siswa madrasah sebagaimana masyarakat negara Indonesia lainnya berhak mendapat peluang yang sama untuk peningkatan kualitasnya dalam lapangan pendidikan melalui pengajaran di madrasah.
Dari SKB tersebut disusunlah kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, yang bisa disebut kurikulum agama.
Madrasah-madrasah yang mendapat pengukuhan sama dengan sekolah-sekolah umum mempunyai jenjang pendidikan dan pengajaran yang sama dengan jenjang yang ada pada sekolah-sekolah umum, demikian pula sistem penyelenggaraan dan perlengkapan atau alat-alat pendidikan lainnya. Madrasah-madrasah menyerupai ini terdiri dari:
a) Madrasah tingkat permulaan atau pra-sekolah yang sering juga disebut sebagai taman kanak-kanak, Raudlotul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal (BA). Sistem penyelenggaraannya sama dengan taman kanak-kanak pada umumnya. Fungsinya untuk mempersiapkan belum dewasa memasuki Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (tingkat dasar), yang setingkat dengan sekolah dasar yaitu 6 tahun, demikian pula sistem penyelenggaraannya.
b) Madrasah Tsanawiyah (tingkat menengah) yang ialah madrasah setingkat dengan SMP (SMP). Lama berguru 3 tahun sebagaimana pada SMP. Sesudah tamat Madrasah Tsanawiyah, anakdidik-anakdidik bisa melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), baik SMTA umum atau SMTA kejuruan, demikian pula ke Madrasah Aliyah (MA).
c) Madrasah Aliyah (tingkat atas) yaitu madrasah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada madrasah tingkat ini hampir tidak ada bedanya dengan sekolah umum baik usang belajar, sistem penyelenggaraannya maupun penjurusannya sama dengan SMA, spesialuntuk khususnya terdapat jurusan Agama pada madrasah Aliyah.
Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia, muncul banyak sekali macam model atau format madrasah terpadu, yaitu madrasah negeri yang mempunyai standard tertentu dari segi masukana dan pramasukana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan (guru), dan siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan pembelajaran sanggup berjalan dengan intensitas tinggi. Sedangkan madrasah terpadu yaitu madrasah 12 (dua belas) tahun, yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang berada dalam satu lokasi, mempunyai satu kesatuan administrasi, manajemen, dan kurikulum. Madrasah yang ditunjuk sebagai madrasah terpadu harus melaksanakan integrasi administrasi, integrasi kurikulum, integrasi personel, integrasi masukana dan pramasukana, dan integrasi pembiayaan.
®
Kepustakaan:
Mehdi Nakosteen, “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”, alih bahasa: Joko S. Kahhar dan Supriyanto, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994). Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990). Muhammad Iqbal, “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam”, alih bahasa Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966). Karl A. Steenbrink, Persantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994). A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).