Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Terbentuknya Nahdhatul Ulama (Nu); Reformis Vs Tradisional

Nahdhatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 atas prakarsa sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Nahdhatul Ulama (NU) yaitu sebuah organisasi wadah usaha para pemimpin Islam tradisional yang bertujuan untuk membela kedudukan ulama dan otonomi pesantren. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap aneka macam aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat.
Saat Nahdhatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 di samping mempunyai latar belakang kepentingan kepercayaan juga berangkat dari keprihatinan keagamaan untuk merespon aktifitas Wahabi yang menguasai rezim Ibnu Sa'ud di Makkah. Lebih menarikdanunik lagi bahwa sering kali sikap ulama NU yang sering perdebatan, selalu mempunyai justifikasi agama.
Hakekat NU yaitu organisasi ulama-ulama salaf sehingga dalam kebijakan bergaris NU otoritas ulama yang faham keagamaan menjadi syari’ah mempunyai posisi taktik faham keagamaan NU secara sederhana kaum tradisionalis disebut Ahlussunnah Wa al-Jama’ah. Artinya golongan atau orang-orang yang setia untuk mengikuti jejak Rasulullah saw, sebagian yang dipraktekkan bersama sobat dekatnya. Faham Sunni yang dikembangkan NU bercirikan dengan masih tetap mempersatukan tradisi pemikiran ulama salaf.
Dalam catatan sejarah, Nahdhatul Ulama bermula dikala acara reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu terorganisir. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta ibarat haul, ulang tahun final hidup seorang kiai secara terpola mengumpulkan masyarakat sekitar pun para bekas anakdidik pesantren mereka yang sekarang tersebar di seluruh dunia.
Pada pertama kurun XX, dalam kurun waktu 10 tahun seorang yang sangat dinamis yang pernah berguru di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan pinjaman seorang kiai Jombang dari Jawa Timur yang sangat disegani, yakni KH. Hasyim Asy’ari.
Perbedaan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi seru pada tahun 20-an. Dalam diskusi, KH. Wahab berhadapan dengan A Soorkati seorang guru agama dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan Reformasi al-Irsyad, demikian juga dengan A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Akan tetapi KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab tidak menutup diri terhadap samasukan pembaharuan dan menyetujui gagasan pentingnya modernisasi sistem pendidikan, walaupun tetap menolak meninggalkan madzhab.
Kehebohan yang secara pribadi terkena kaum tradisionalis terjadi pada tahun 1922. KH. Mas Mansyur, salah satu seorang guru Madrasah Nahdlatul Wathan, mengajukan pengunduran dirinya untuk membangun dan memimpin gerakan reformis Muhammadiyah, tetapi kaum renta tetap berjuang. Pada tahun yang sama mereka meningkatkan acara kemasjidan dengan membentuk suatu tubuh untuk mengurusi masalah-masalah masjid.
Dua tahun kemudian diadakan kursus agama untuk orang cukup umur di mana dapat berguru dan ulama muda didiberi pengarahan tiga kali seminggu di Madrasah Nahdlatul Wathan. Orang-orang itu kemudian memmenolongk semacam organisasi yang didiberi nama Syubbanul Wathan, Pemuda Patriot, untuk mengulas duduk kasus aturan agama, jadwal dakwah, peningkatan pengetahuan bagi para anggota dan sebagainya.
Pada tahun 1926 bulan Januari, sebelum kongres al-Islam di Bandung, suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaru di Cianjur menetapkan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu Mekkah. Satu bulan kemudian konggres Islam tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan semoga usul kaum tradisionalis terkena praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia. Penolakan yang masuk nalar itu alasannya yaitu sebagian kaum reformis menyambut baik pemmembersihkanan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi sudah mengakibatkan kaum tradisionalis menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, dengan membentuk sebuah komite untuk mewakili mereka di hadapan raja Ibn Sa’ud. Untuk megampangkan kiprah ini, pada tanggal 13 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yaitu, Nahdhatul Ulama (NU).
Muktamar I Nahdhatul Ulama (NU) gres diadakan bulan Oktober tahun tersebut dan pengiriman delegasi tradisionalis ke Mekkah dilaksanakan dua tahun kemudian. Mandat yang dibawa oleh delegasi untuk diserahkan kepada raja gres itu meliputi seruan terkena kemerdekaan bermadzhab. Akhirnya seruan tersebut dikabulkan oleh raja dalam surat balasannya.
Pada muktamar tahun 1928, Nahdhatul Ulama (NU) menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapat ratifikasi resmi dari pemerintah Belanda, ratifikasi yang balasannya diterima tanggal 6 Februari. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan panutan yang ketat pada keempat madzhab dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan agama Islam.
Nahdhatul Ulama (NU) menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan fatwa keempat madzhab, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’iah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam.
®
Kepustakaan:
Martin Van Brunessen, NU: Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (LKIS, Yogyakarta, 1997). Andree Feillard, NU Vis-à-Vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (LKIS, Yogyakarta, 1999). D. Lombard, Dokumen-Dokumen NU, (t.tp., t.p., 1990). Syamsuddin Haris, Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU, (Pesantren NO. 2, Vol. VIII, 1991).