Talqin Berdasarkan Bahasa Dan Istilah
Secara bahasa, kata talqin yakni shighat masdar berasal dari akar kata bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis bermakna mendikte, mengajarkan atau memahamkan secara lisan. Kata itu sama maksudnya dengan kata allama, fahhama dan musyafahah yang berarti memahamkan secara ekspresi kepada orang lain.
Dalam pengertian istilah, talqin dipahami sebagai bimbingan mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang sudah menampakkan gejala janjkematian atau dalam keadaan sakarotul maut. Tujuan bimbingan itu yakni untuk mengingatkan kepada orang yang akan meninggal tersebut dengan tauhid, sehingga selesai ucapan yang keluar yakni kalimat tauhid, yakni La Ilaha Illallah.
Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid yakni alasannya pada ketika menjelang janjkematian ialah ketika yang menentukan, ketika paling kritis bagi iktikad seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, selesai kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iktikad kepada Allah.
Dalam perkembangannya, talqin ternyata juga mempunyai pengertian lain ketika dipraktekkan kepada orang yang sudah meninggal (pasca sakaratul maut). Itu dilakukan diatas kubur, setelah mayit dikebumikan. Dalam pengertian tersebut, talqin dipahami sebagai aktivitas membaca beberapa ayat al-Quran, hadis, pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan malaikat Mungkar-Nakir di dalam kubur serta memanjatkan doa kepada mayat supaya diampuni dosanya dan dirahmati.
Amalan talqin yang demikian disandarkan pada sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahily. Ia berpesan supaya mayatnya nanti diperlakukan sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw, yaitu diseru nama jenazahnya dan didiberi peringatan (pengajaran) wacana syahadat, wacana Islam sebagai agama dan sebagainya. Dalam hadis:
Dari Abu Umamah ra., “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah sudah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara engkau bangun di arah kepala, kemudian ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak sanggup menjawaban. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya ia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang engkau pertahankan ketika meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan al-Quran sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabanannya. Allah-lah yang sanggup memintainya jawabanan, bukan malikat munkar dan nakir. Lalu ada seorang pria bertanya, ya Rasulullah bagaimana kalau ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawaban, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. at-Thabrani)
Jika talqin dalam pengertian pertama mempunyai fungsi mengingatkan kepada si sakit yang akan meninggal dunia kepada kalimat tauhid, maka talqin dalam jenis kedua diamalkan sebagai masukana mempersembahkan peringatan kepada orang masih hidup supaya ingat kepada siksa kubur.
®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Al-A’zami, Musthafa, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi, (Beirut: Maktab Islami, 1980). Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve). Jejen Musfah, Rindu Kematian, (Jakarta: Hikmah, 2004). Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mutair Al-Lahkmy As-Syamy Al-Thabrani, Mu’jamul Ausath, (Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th).