Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Uang Dalam Sejarah Islam

Uang dalam sejarah Islam, erat dengan mata uang yang terbuat dari emas, disebut Dinar dan mata uang yang terbuat dari perak disebut Dirham. Mata uang ini sudah dipakai secara mudah semenjak kelahiran Islam hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pasca perang Dunia I.
Oleh lantaran itu, kebanyakan negara Islam dijajah oleh Barat dengan sistem kapitalisnya, maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan juga mengikuti pola-pola kapitalis, termasuk duduk kasus mata uang. Dinar dan dirham yang dipakai orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai nominalnya, melainkan berdasarkan beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dirham yang tidak sama dan lantaran kemungkinan terjadinya penyusutan berat akhir peredarannya.
Datangnya Rasul saw, sebagai tanda kehadiran Islam, maka dia mengakui banyak sekali muamalah yang memakai dinar Romawi dan dirham Persia. Beliau juga mengakui standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat dinar dan dirham. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah bersabda, “Timbangan berat (wazan) ialah timbangan penduduk Makkah, dan dosis (mikyal) ialah dosis penduduk Madinah" (HR Abu Daud dan An-Nasai) Kaum Muslimin terus memakai dinar Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap, dan gambar aslinya sepanjang hidup Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada pertama kekhalifahan Umar bin Khaththab.
Pada masa pemerintahannya, khalifah Umar Bin Khaththab, pada tahun 20 Hijriah, yaitu tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin Khaththab, dia mencetak uang dirham gres berdasarkan teladan dirham Persia. Berat, gambar, maupun goresan pena Bahlawinya (huruf Persianya) tetap ada, spesialuntuk ditambah dengan lafaz yang ditulis dengan aksara Arab gaya Kufi, mirip lafaz Bismillah (melaluiataubersamaini nama Allah) dan Bismillahi Rabbi (melaluiataubersamaini nama Allah Tuhanku) yang terletak pada tepi lingkaran.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 hijriah (695 Masehi), mencetak dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz Islam yang ditulis dengan aksara Arab gaya Kufi. melaluiataubersamaini demikian, dirham Persia tidak dipakai lagi. Dua tahun kemudian, (tepatnya tahun 77 Hijriah/697 Masehi). Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak Islam setelah meninggalkan teladan dinar Romawi. Gambar-gambar dinar usang diubah dengan goresan pena atau lafaz-lafaz Islam, mirip Allahu Ahad (Allah itu Tunggal), Allah Baqa' (Allah itu Abadi). Sejak ketika itulah orang Islam mempunyai dinar dan dirham Islam yang secara resmi dipakai sebagai mata uangnya.
sepertiyang dijelaskan sebelumnya, bekerjsama di zaman Khalifah Umar bin Kaththab dan Usman bin Affan, mata uang sudah dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada goresan pena yang tercantum pada mata uang tersebut. Pada pertama pemerintahan Umar pernah terbetik pikiran untuk mencetak uang dari kulit, namun dibatalkan lantaran tidak disetujui oleh para sobat dekat yang lain. Mata uang khalifah Islam yang mempunyai kecirian khusus gres dicetak oleh pemerintah Imam Ali ra. Namun akung peredarannya sangat terbatas lantaran keadaan politik ketika itu.
Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiyah dengan mencantumkan gambar dan pedang Gubernurnya di Irak. Ziyad juga mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Teknik yang dilakukan Muawiyah dan Ziyad mencantumkan gambar dan nama kepala pemerintah pada mata uang-masih dipertahankan hingga ketika ini, juga termasuk di Indonesia.
Mata uang yang beredar pada waktu itu belum terbentuk bundar mirip uang logam kini ini. Baru pada zaman Ibnu Zubair dicetak untuk pertama kalinya mata uang dengan bentuk bulat, namun peredarannya berbatas di Hijaz. Sedangkan Mus'ab, gubernur di Kufah mencetak uang dengan gaya
Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 Hijriah, Bisr bin Marwan mencetak mata uang yang disebut dengan dinar Athawiya. Sampai dengan zaman ini mata uang khalifah beredar bersama dengan dinar Romawi, dirham Persia dan sedikit Himiyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) pemerintah mendirikan kawasan percetakan uang di Daar Idjard, Suq ahwaj, Sus, Jay, Manadar, Maisan, Rai, Abarkubadh, dan mata uang khalifah dicetak secara terorganisir dengan kontrol pemerintah. Nilai mata uang ditentukan oleh beratnya.
Mata uang dinar mengandung emas 22 karat, dan terdiri dari pecahan setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat dengan memotong uang Imam Ali, misalnya, pernah membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar. (H R Abu Dawud). Dirham terdiri dari beberapa pecahan nash (20 dirham), nawat (5 dirham), Sha ira (1/60 driham).
Dalam hubungannya dengan uang, bahwa uang dinar-dirham jarang mengalami perubahan mirip naik turun, sehingga dalam pertukaran perbandingannya dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada ketika itu perbandingan emas perak 1:7, sehingga satu dinar 20 karat sama dengan 20 dinar 44 karat. Akan tetapi perubahan mata uang tersebut pernah dilakukan oleh Abdul Malik yaitu dirham diubah menjadi 15 karat. Di zaman Ibnu Faqih (289 H) nilai dinar menguat menjadi 1:17, tetapi kemudian menetap pada kurs 1:15. Ulama Islam Ibnu Taimiyah di zaman pemerintahan raja Mamluk, sudah mengalami situasi di mana beredar jenis mata uang dengan nilai kandungan logam mulia yang tidak sama. Ketika itu beredar tiga jenis mata uang: dinar (emas), dirham (perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirham mengalami naik turun adakala malah menghilang, sedangkan yang beredar luas ialah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah (fullus) akan menghilangkan uang yang berkarakter baik (dinar-dirham). Pemerintah Mamluk ditandai dengan stabilnya sistem keuangan lantaran banyaknya fullus yang beredar dan lantaran meningkatnya jumlah tembaga dalam mata uang dirham. Oleh alasannya itu, sistem keuangan dengan memakai uang kertas sering mengalami naik turun.
Diperkenalkannya fullus sebagai mata uang memdiberi ide kepada beberapa kepala pemerintahan Bani mamluk untuk menambah jenis uang. Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, maka pencetakan fullus relatif lebih mudah dilakukan, lantaran tembaga lebih mudah didapat. Pemerintah mulai terlena dengan kegampangan pencetakan uang baru. Keadaan memburuk ketika Kirbugha dan zahir Barkuk mulai mencetak fullus dalam jumlah yang sangat besar dan nilai nominasi yang lebih besar dari nilai kandungan tembaga. Fullus banyak dicetak namun masyarakat banyak menolak kehadiran fullus tersebut. Menyadari kekeliruannya, kemudian Sultan Kirbugha menyatakan fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari nominasinya. melaluiataubersamaini adanya batasan tersebut, maka untuk menambah jumlah fullus Sultan Barkuk mulai mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa.
Secara khusus Ibnu Taimiyah juga mengomentari praktik mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa sebagai potongan dari bisnis uang. Secara garis besar Ibnu Taimiyah memberikan lima poin penting. Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya doktrin orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melaksanakan kontrak jangka panjang dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap sebagai pegawai. Ketiga perdagangan domestik akan menurun lantaran kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari negara.
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama Islam berjulukan Abu Hamid al-Ghazali sudah mengulas uang dalam perekonomian. Beliau pertanda ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya, dan membutuhkan sesuatu yang tidak dipunyainya. Dalam ekonomi Barter transaksi spesialuntuk terjadi kalau kedua pihak mempunyai dua kebetulan sekaligus, yaitu pihak pertama membutuhkan barang dan pihak kedua sebaliknya.
Al-Ghazali beropini bahwa dalam ekonomi tukar barang sekalipun, uang diharapkan sebagai nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100 dinar, dan kain senilai satu dinar. melaluiataubersamaini adanya uang sebagai ukuran nilai barang, maka uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Namun uang tidak diharapkan untuk nilai yang tidak masuk akal dari pertukaran tersebut.
Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna namun sanggup merefleksikan tiruana warna. Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan harga tiruana barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memdiberi kegunaan pribadi (direct utility function), spesialuntuk kalau uang itu dipakai untuk membeli barang, maka barang itu akan memdiberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Makara uang memdiberi kegunaan tidak pribadi (indirect utility function). Apa pun debat para ekonom konvensional, kesimpulan tetap sama dengan al-Ghazali, yaitu uang tidak diharapkan untuk uang itu sendiri.
*Berbagai Sumber