Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dasar Aturan Perihal Wali Nikah

Keberadaan seorang wali dalam ijab kabul yakni suatu yang mesti dan tidak sah kesepakatan perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan berdasarkan kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat al-Quran yang terang menghendaki keberadaan wali dalam kesepakatan perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut sanggup dipahami menghendaki adanya wali .
Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali yakni surat al-Baqarah ayat 232 yang artinya:
Apabila engkau mentalak isteri-isterimu, kemudian habis masa iddahnya, Maka tidakbolehlah engkau (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang diberiman di antara engkau kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang engkau tidak Mengetahui '
Kalau sang istri sudah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang diputuskan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, perempuan itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya baik suami mereka yang sudah pernah menceraikannya, maupun laki-laki lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu yakni haknya secara penuh, alasannya janda berhak atas dirinya daripada yang lain.
Ayat ini ditujukan kepada para wali, kalau mereka tidak memiliki hak dal am perwalian, tentu mereka tidak dihentikan untuk menghalang-halangi.
Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan. Sedangkan berdasarkan ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah cukup umur dan sehat akalnya sanggup melaksanakan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang sudah cukup umur dan sehat akalnya sanggup bertindak aturan dengan sendiri tanpa diharapkan menolongan walinya.
Jumhur ulama di samping memakai ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa berdasarkan riwayat Ahmad “Tidak boleh nikah tanpa wali.”
Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasa’i; “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal .”
Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.”
Hadis tersebut diatas dipakai oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu yakni perempuan yang sudah cukup umur dan nalar sehat.
®
Kepustakaan:
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UII press, 1986).