Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi Religi Berlatar Lingkungan - Pesan Hujan

INIRUMAHPINTAR - Saat ini hujan gres saja mengguyur bumi. Silih bergantinya butir-butir air yang tadinya gemuruh berganti kesenyapan. Inspirasi kemudian hadir dan bait demi bait berhasil terangkai menjadi sebuah karya puisi. Awalnya mengalir begitu saja. Ternyata balasannya memuat makna berkelas. Sebuah puisi bertema religi, pesan moral, dan Koreksi sosial memadu kasih menjadi satu ikatan. Coba tengok pesan apakah kiranya dalam puisi berlatar lingkungan diberikut ini:

Pesan Hujan
Karya : Ahn Ryuzaki

Hujan reda
Hati lega
Sawah bahagia
Padi tertawa

Jalanan basah
Wajah sumringah
Kaki melangkah
Kembali menjelajah

Sungai meluap
Siap melahap
Malam mendekap
Memeluk petang

Sampah terhanyut
Tanpa tersangkut
Sampan mengikut
Tidak penakut

Petani berkelakar
Melungguh setikar
Menggenggam tembikar
Lidiberika mengantar 

Penjilat menguak
Pengkhianat tersedak
Penjahat merangkak
Mukidi menggertak

Koruptor kedinginan
Menggauli keheningan
Meratapi suratan
Dosa memayahkan

Walau hilang
Di balik lubang
Kebaikan menang
Kejahatan tumbang

Darimana insan?
Kemana tujuan?
Siapkah gerangan
Menghadap Tuhan


 Watansoppeng,  22 Oktober 2016 : 09.42

Apa makna terkandung dalam puisi di atas?

Puisi ini terinspirasi dari hujan. Penulis memulainya di kala hujan gres saja reda. Tampaknya penulis menangkap buah pikiran di balik bencana alam tersebut. Jika kita membaca pesan di bait pertama, ada tiga kemenangan yang berhasil tercapai sehabis hujan berhenti. Pertama, hati lega. Ini menerangkan ada kepentingan yang mengilhami penulis menentukan kata ini. Mungkin saja ketika itu penulis berada di luar rumah, sedang berteduh, atau dalam perjalanan ke suatu tempat. Kedua, sawah bahagia. Ini berarti di sekitar penulis, ada jejeran sawah yang terlihat. Sawah yang kelihatan gersang kehausan dibahasakan bahagia oleh penulis sehabis hujan turun begitu deras. Ketiga, padi tertawa. Bukan cuma sawah yang mencicipi faedah, padi juga ikut mendapatkan kesegaran sehabis mendapatkan hadiah berupa hujan. Sketsa ini menunjukkan, penulis sedang berteduh di suatu kawasan sembari menatap hamparan sawah yang mulanya kering dan padi-padinya menunduk layu beranjak bugar tersirami butir-butir hujan.

sumber gambaran : Geograph
Di bait kedua, penulis memindahkan objek pengamatan ke jalan raya. Penulis mengilustrasikannya sebagai jalanan basah. Di ketika itu, penulis merasa senang alasannya perjalanannya sudah sanggup dilanjutkan tanpa takut kena berair lagi. Hujan benar-benar sudah berhenti dan menyisakan impian bagi tiruana pengguna jalan, khususnya pengendara roda doa. Mereka melanjutkan penjelajahan menuju tujuan masing. Jalan raya kembali ramai, kendaraan kemudian lalang menapaki jalanan yang berair alasannya sisa-sisa air hujan.

Di bait ketiga dan keempat, penulis mengalihkan perhatian ke arah sungai. Ini berarti di tengah perjalanan, penulis sempat melirik ke arah sungai yang dilaluinya. Airnya meluap dan tampak tidak menyerupai biasanya, dibahasan dengan istilah siap melahap. Di ketika bersamaan, hari mulai petang. Dan penulis sudah datang di kawasan tujuan. Tetapi, penulis tidak lupa menggambarkan keadaan lain yang dilihatnya tadi. Sampah-sampah memenuhi pemikiran sungai dan tersangkut dibeberapa bagian. Entah sampahnya dari mana, tetapi dipastikan itu berasal dari hasil membuangan manusia-manusia tidak bijak di hulu sungai. Penulis pun sempat melihat seorang pengayuh sampan yang gagah berani, bergerak di tengah auman pemikiran sungai, menuntun sampah biar terhanyut tiruananya.

Di bait kelima, penulis menggambarkan potret malam hari di pedesaan. Sesudah hujan reda, para petani yang kembali dari sawah, duduk-duduk bercengkrama. Mereka saling menghibur diri dengan kelakar dan senda gurau. Luapan senang melihat padi-padi yang hampir pguan tercermin di wajah-wajah polos mereka. Dikawani minuman kopi hangat bermerek Lidiberika, mengantar mereka memeluk malam dengan penuh suka cita dalam nuansa kesederhanaan. 

Sementara di kawasan terpisah sebagaimana tersirat di bait ke-6 dan ke-7, penulis menggambarkan skenario tidak sama. Para penjilat, pengkianat, dan penjahat bangsa yang dulunya bergelimangan harta (dari hasil korupsi) harus bergumul dengan bilik penjara. Mereka kuncup dan tertunduk aib dikawani Mukidi yang selalu menggertak biar mereka berguru dari kesederhanaan para petani. Hidup sederhana, tetapi senang dan benar-benar menikmati hidup. Mereka tidak mencuri dan benar-benar bersyukur atas hasil keringat sendiri. Hasilnya, mereka sanggup menikmati malam dengan minum kopi sementara para tahanan berdasi sibuk menyeruput penyesalan. 

Di bait ke-8 dan ke-9, penulis menegaskan dan mengajak pembaca untuk berpikir bahwa kebaikan selalu menang. Walau dijaga rapat-rapat, disembunyikan dengan cara apapun, kejahatan yang dilakukan niscaya akan ketahuan. Akibatnya, melaksanakan kejahatan, apalagi kejahatan besar menyerupai korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan lain yang merugikan rakyat banyak, niscaya akan menuai tanggapan setimpal. Tiada yang mencicipi manfaat. Jika tidak dieksekusi dengan penjara (andai ketahuan), atau diganti dengan penyakit yang tak sanggup sembuh, atau ditunda sampai janjkematian menjemput dan berkembang menjadi menjadi jalan tol menuju penjara neraka yang infinit awet sepanjang masa. 

Oleh alasannya itu, di bait terakhir penulis menyisipkan ilmu aqidah. Manusia-manusia yang meyakini kehadirannya di dunia sebagai ciptaan Allah mestinya sadar dan menyikapi dunia sebagai persinggahan sementara. Jangan pernah lupa bersyukur. Ingatlah selalu, insan diciptakan Allah untuk tujuan penciptaannya masing-masing, dan niscaya akan kembali kepada-Nya cepat atau lambat. Makanya, tiada guna menjalani periode kehidupan di dunia dengan perbuatan dosa.