Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etika Sosial Media, Jauhi Prasangka Dahulukan Tata Krama

INIRUMAHPINTAR - Sehubungan dengan semakin membanjirnya kebebasan berekspresi di banyak sekali media online, khususnya di media umum menyerupai Facebook, Twitter, Instagram, dsb, penulis tergugah untuk sedikit menuangkan pandangan gres dan masukan. Pasalnya, ruang mengungkapkan isi hati yang tersedia di medsos (media sosial) belum juga mempunyai filter bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawaban. Sementara di sisi penikmat sosmed (user), tampaknya gres sebagian yang mempunyai kontrol personal dalam diberinteraksi.

Ketika membuka notifikasi di Facebook misalnya, masih sangat praktis menemukan orang-orang yang kurang beretika dan toleran dalam membuat status atau berkomentar. Entah kenapa, mulai dari generasi yang masih hijau hingga kalangan terdidik begitu gampangnya meluapkan isi hati dengan pilihan kata-kata yang kurang pantas. Bukankah kata-kata menyinggung perasaan, menyulut emosi, fitnah, menghina, dan hoax yaitu warna-warni wacana yang tidak seharusnya dituangkan di medsos? Entah diniatkan dengan sengaja atau memang cerminan pribadi, begitulah yang nampak. Jika mereka yang mengumbar status kurang bijak yaitu yang masih duduk di kursi sekolah, mungkin bisa sedikit dimaklumi. Alasannya, mereka masih dalam proses mencari jati diri dan butuh mendapat didikan lebih lanjut. Parahnya, tidak sedikit dari penyebar status/komentar yang tidak qualified itu justru bergelar akademisi atau oknum-oknum intelektual.

Fenomena ini bagai kebecekan di demam isu hujan. Begitu praktis menggenangi lubang-lubang kecil yang terbuka. Apalagi ketika ini, Indonesia dilanda demam isu melek bicara dan berpendapat bebas pasca hadirnya sejumlah kasus yang mengusik banyak pihak. Semuanya yang tampak merasa paling benar dengan sudut pandang tidak sama-beda, bau tanah muda, laki-laki wanita, miskin kaya, paham atau tidak, ikut nimbrung dan berseliweran di sejumlah status kontradiktif. 

Menyetujui atau tidak segala sesuatu bahwasanya bukan masalah. Setiap orang berpotensi mempunyai pandangan tidak sama terhadap apapun. Yang menjadi dilema yaitu bagaimana menyikapi dan merealisasikan pendapatnya tersebut. Ada yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya, contohnya membuat foto editan atau tiruan untuk memfitnah. Dan tidak sedikit yang mengeluarkan kata-kata tidak sen0n0h dan vulg4r. Renungkanlah! Sudah tepatkah cara itu? Jika mendebat orang lain dengan menggunakan kata-kata tidak pantas dan menyalahi norma-norma kesopanan menyerupai itu, maka tidakkah mereka berpikir dampak samping dari perlakuannya itu. Tidakkah mereka sadar kalau sosial media itu bacaan yang bebas dipandangi oleh siapa saja. Bagaimana kalau yang membacanya yaitu mereka yang belum mengerti, belum siap, dan belum matang? Bukannya menjernihkan malah menambah kekeruhan.
sumber : Flickr

Tidak sedikit diberita-diberita dusta dan fitnah dipublish tanpa sedikitpun rasa bersalah. Andaikan tetua dan para pendiri bangsa bisa dihidupkan kembali, mereka akan miris melihat kelakuan para penerusnya yang malah sibuk tabrak urat saraf dengan saudara sebangsa sendiri. Kebanyakan cuma pintar mengKoreksi tanpa memdiberi solusi. Seakan merasa paling hebat dan cemerlang, pendapatnyalah yang dirasa paling kredibel. Tidakkah kita tahu bahwa setiap kepala mempunyai isi tidak sama. Maka sebuah keniscayaan kalau selalu memaksakan kehendak biar pendapatnya diterima. Lagipula, pendapat tetaplah sebatas argumen, bukan embel-embel pemecah masalah, bukan juga pandangan gres brilliant penjernih suasana.

Nampaknya, tiruana pihak termasuk penulis sendiri, perlu memperbanyak merefleksi diri sendiri. Hal itu memang sepantasnya dilakukan biar kita bisa mengukur diri sebelum menilai orang lain. Mestinya kita menggali sedalam-dalamnya niat pemersatu dan penumbuh cinta yang tampaknya mulai kita abaikan sebelum berwacana. Ingatlah! kita ditakdirkan lahir di sebuah negeri berjulukan Indonesia bergelar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu artinya kita bersaudara walaupun tidak sedarah. Meskipun demikian, perlu kita pahami juga bahwa kekentalan ikatan emosional para orang bau tanah bangsa kita melebur ke dalam sebuah falsafah yang mestinya kita genggam erat-erat yaitu semangat Bhinneka Tunggal Ika (walaupun tidak sama-beda tetapi tetap satu jua).

Nafas Bhinneka Tunggal Ika bersumber dari kepercayaan suci para bapak dan ibu Bangsa yang mengerti adanya kemajemukan di negeri ini. Beragam budaya, suku, budbahasa istiadat, bahasa, dan unsur-unsur lain yang menjadi pilar nusantara yaitu kekayaan abnormal yang harus dijaga. Bagaimana caranya? Yah, terkait dengan etika bersosial media, minimal jauhi prasangka dan lampaukan tata krama. Jangan praktis mengeluarkan stigma kurang sangat senang sebelum benar-benar mengkroscek keabsahan informasi yang diperoleh.

Perlu juga kiranya kita merenungi kata-kata bijak Bugis yang berbunyi, "narekko depagaga pakkule tiroang laleng mappadeceng aja lalo ki nengka mancaji patimpa laleng maja". Dalam arti bahasa Indonesia, "jika belum ada kesanggupan mengatakan jalan kebaikan, tidakboleh pernah coba menjadi pembuka pintu keburukan". Maksud dalam petuah kearifan Bugis tersebut dipertegas lagi dengan kata-kata mutiara lain yang berbunyi, "narekko de yullei mappepaccing, ajja' to maddota". Artinya, "jika tidak bisa memmembersihkankan, tidakbolehlah mengotori".

Dari pitawat di atas, tertatalah sebuah referensi pikir yang dibutuhkan manjur sebagai pelajaran bagi para pengguna sosial media. Jika belum sanggup mempersembahkan solusi atas masalah-masalah yang ada, tidakboleh pernah sekali-kali mengKoreksi. Kritik menyerupai ini spesialuntuklah menambah masalah, bukan menguranginya. Makara apa gunanya? Jika belum punya andil apa-apa terhadap perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, minimal tidakboleh menjadi pemantik benci yang merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa. Bukankah lebih baik membisu saja sembari memantaskan diri, berguru menemukan resolusi, hingga kemudian benar-benar siap untuk mengkritisi secara santun.

Lalu bagaimana melaksanakan Koreksi yang santun? Temukan dulu solusi atas dilema yang ingin dikritisi kemudian implementasikan sendiri kehandalannya, lakukan dalam membisu dan lihat apa yang terjadi. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada mengeluarkan sentimen-sentimen paradoksal yang berpotensi menyakiti saudara sebangsa kita. Jikalau pun nantinya ada peluang berharga dan kredibel untuk berlisan, lakukanlah dengan penuh tata krama dan hilangkan prasangka.

Ada beberapa ilustrasi yang menarikdanunik untuk diambil hikmahnya. Pernah suatu ketika, seorang istri kepada suaminya. "Papah, coba lihat deh ke tetangga sebelah, tiap hari cuciannya gak pernah membersihkan", sembari melongok ke arah tetangga yang sedang menjemur pakaian. Sang suami membisu saja. Namun, rupanya sang istri tidak pernah bosan mengulang-ulang perkataannya. Hampir tiap hari selalu saja mengomentari cucian tetangga. Hingga datang hari minggu, sang istri kembali berujar, "Pah, lihat deh, tetangga kita ternyata udah membersihkan nyucinya, pasti udah berguru dari kesalahannya yang kemarin-kemarin." Sang suami yang biasanya membisu saja, berbalik ke istrinya, kemudian memandang dengan penuh kasih akung, "Mah, tadi pagi papah udah membersihkanin jendela rumah kita loh." Barulah sang istri menyesal dan merasa bersalah, ternyata penilaiannya selama ini salah. Ternyata bukan cucian tetangga yang kotor, melainkan jendela rumahnya yang penuh noda. Begitulah kebiasaan sebagian orang di sosial media (mungkin di dunia aktual juga ada), begitu praktis menilai orang lain salah, keliru, tidak bijak, dst, padahal caranya memandang yang kurang tepat atau ilmunya yang belum matang.

Ilustrasi diberikutnya, seorang artis elok memeriksakan diri ke dokter. "Dok, saya mau dongeng tentang sesuatu, tapi saya malu", curhat sang artis kepada dokter. "Ehmm, tak usah malu, privasi terjaga kok", sang dokter meyakinkan. "Begini dok, akhir-akhir ini saya sering membuang angin, dalam se-jam bisa hingga berpuluh-puluh kali, dok", ucap sang artis. "Untungnya kentut saya tidak busuk dan berbunyi, dok", tambahnya. Sang dokter membisu saja sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, ditulisnya sebuah resep untuk sang artis.

Seminggu kemudian, sang artis hadir lagi ke klinik sang dokter. "Dok, obat apa sih yang dokter kasih ke saya ahad lalu?", keluh sang artis. Dia merasa tidak puas terhadap hasil diagnosa dokter. Lalu, dengan hening sang dokter bertanya sembari melemparkan senyuman, "ada keluhan apa lagi, mba?" melaluiataubersamaini wajah sedikit memerah, sang artis berbisik, "begini dok, setelah mengonsumsi obat dari dokter, kok tiba-tiba bunyi kentut saya jadi nyaring dan sangat bau, menyerupai bangkai hangus?" Dokter masih tersenyum sembari menanggapi singkat, "masa?". "Saya kan aib dok, masa artis elok kentutan. Malu dong sama fans, obat apa sih dok? gak salah ngasih kah? malpraktik nih", ungkap sang artis keberatan. melaluiataubersamaini penuh keyakinan sang dokter berusaha menenangkan dan membisiki pasiennya bahwa obat yang tempo hari didiberi kepada sang artis yaitu obat THT (anti penyumbatan pendengaran dan hidung). Nah, begitulah sebagian dari kita, terkadang kita susah mengakui belum sempurnanya dan kelemahan pribadi. Merasa aib kalau harus salah dan disalahkan, dan menganggap orang lainlah selalu salah. Padahal, tidak selamanya sumber kesalahan berasal dari orang lain, bisa jadi justru bermuara pada cara pandang kita yang keliru.

Semoga goresan pena ini bermanfaa dan memotivasi kita untuk semakin mengerti tentang etika-etika bersosial media. Etika yang bahwasanya wajib kita patenkan untuk tiruana keadaan, termasuk untuk kehidupan nyata. Hal baik akan semakin baik kalau disampaikan dengan cara baik disertai klarifikasi baik dan menyesuaikan dengan tingkat kemampuan lawan bicara dalam memahaminya.