Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Inti Dari Tujuan Pendidikan Ialah Terbentuknya Huruf Baik

INIRUMAHPINTAR - Pendidikan sejatinya ialah proses yang mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang lebih pintar, lebih tahu, lebih mengerti wacana dunia, sehingga ia menjadi lebih bijak dan bisa hidup bersanding dengan serasi, selaras, dan seimbang dengan tiruana makhluk. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan lebih cenderung disejajarkan dengan perubahan dalam kognitif saja. Indikator psikomotorik dan afektif kemudian lebih banyak dikesampingkan. Lalu, pendekatan ini lambat laun seiring berjalannya waktu dianggap sebagai referensi keberhasilan suatu proses pendidikan. melaluiataubersamaini kata lain, seorang anak dikatakan berhasil dalam pendidikannya dikala ia sukses meraih peringkat pertama di kelas, menjadi juara umum, atau lulus dengan angka cumlaude. 

Saya tidak menyalahkan kalau ada orang bau tanah yang menginginkan anaknya menjadi nomor satu di kelas, selalu memperoleh nilai 10 di setiap ulangan, atau memperoleh juara terbaik dalam lomba-lomba antar sekolah. Hal itu masuk akal saja sebab salah satu sopan santun insan ialah ingin tampil sebagai pribadi terbaik. Namun, yang banyak terjadi kemudian ialah mengedepankan prestasi akademik buat anak dengan mengesampingkan penanaman huruf atau kepribadian luhur yang justru melahirkan generasi-generasi ingin menang sendiri, senang sendiri, sukses sendiri, dan cenderung melupakan kawan-kawan sejawatnya yang lain.


Jadi, tidak mengherankan kalau di zaman ini, terutama di negeri kita sendiri, banyak orang-orang pintar, kaya, ahli, penguasa yang terlahir dari proses pendidikan panjang justru terlihat tidak mempunyai andil besar terhadap perubahan bangsanya. Orang yang cerdik semakin pintar, orang kaya semakin kaya, dan penguasa semakin berkuasa. Sementara di daerah lain, orang miskin semakin miskin, orang ndeso semakin bodoh, dan masyarakat biasa semakin terpinggirkan. Kesentidakboleh terjadi dimana-mana, entah mulai dari mana untuk memperbaikinya.

Tidak sedikit dari kita yang lupa bahwa inti dari tujuan pendidikan yang bekerjsama ialah terbentuknya pribadi-pribadi dengan huruf yang baik. Jadi, kalau sudah nampak di depan mata, saudara-saudara sebangsa kita yang tidak diragukan kepintarannya, diakui kekayaannya, dan dihormati kekuasaannya justru melaksanakan dosa-dosa terhadap negerinya sendiri dengan melaksanakan korupsi, kolusi, nepotisme, sogok-menyogok, konspirasi, dan lain sebagainya, maka apa artinya ini tiruana? kemana pendidikan kita? 

Mengapa hal ini perlu dipertanyakan? Tentu untuk memperbaiki sebuah masalah, kita mesti menelisik akar permasalahannya terlebih lampau. Mari kita renungkan? Apakah institusi pendidikan di negeri ini tidak lagi mengajarkan pendidikan huruf kepada belum dewasa bangsanya sehingga orang-orang berkuasa tidak ingin lagi antri mengisi materi bakar di pom bensin, atau orang-orang cerdik tidak lagi ingin menyebarkan ilmu dan mengabdi di sekolah-sekolah, atau orang-orang kaya tidak begitu enggan membayar zakat dan berzakat kepada saudara-saudaranya yang terlilit problem ekonomi?

Apakah guru-guru sudah lupa mengajarkan berdoa sebelum makan dan minum, atau mengucap salam sebelum memasuki ruangan, atau memegang erat kejujuran dan amanah sebagai falsafah hidup? Ataukah para dosen di perguruan tinggi lebih menentukan menyelenggarakan perkuliahan dengan bobot ilmu pengetahuan tertinggi tetapi sudah lupa menanamkan nilai-nilai? Ataukah para orang bau tanah lebih menlampaukan bisnis dan urusan pekerjaan dan lebih mengandalkan pemmenolong untuk mendidikan belum dewasa mereka?

Jika jawabanannya tidak, mengapa masih ada pelajar-pelajar negeri ini yang terjerumus nark0ba, tawur4n, dan bahkan bergabung dengan kelompok beg4l yang meresahkan masyarakat? mengapa masih banyak mahasiswa yang dem0 dan menlampaukan kekeras4n ketimbang bermusyawarah dikala menghadapi masalah? dan mengapa banyak belum dewasa yang mereasa terasing di rumah sendiri dan lebih erat dengan pemmenolong ketimbang dengan orang tuanya sendiri?

Ataukah ada problem dalam penyelenggaraan proses pendidikan yang belum juga terselesaikan? apakah orang tua, guru-guru, dosen-dosen, hingga pegawai-pegawai terkait di bidang pendidikan sudah berkualifikasi dan pantas menjadi teladan? Sudahkah mereka menyebarkan keteladanan di hari-hari mereka diberinteraksi dengan belum dewasa bangsa ini? Apakah pihak-pihak berwenang sudah hingga di titik ini dengan melaksanakan pengawasan dan peninjauan mendalam terhadap kesentidakboleh ini?

Jangan hingga kita terlalu sibuk menghabiskan dana bermilyar-milyar atau triliunan untuk menggonta-ganti kurikulum, buku teks, tata cara evaluasi, dan kebijakan-kebijakan lain yang sifatnya administratif sementara melupakan tugas serta keteladanan dan profesionalisme. Apapun kurikulumnya, kalau guru-guru dan penyelenggara pendidikan lain belum hingga pada tahap keteladanan dan profesionalisme, maka tiruana seminar-seminar dan petes-petes (misalnya petes kurikulum 2013, yang sekarang sedang berlangsung ) akan susah bersinergi dan berjalan dengan terbaik.

Lalu, bagaimana membuat guru-guru, dosen-dosen, dan penyelenggara pendidikan yang hebat, kompeten, dan mempunyai roh keteladanan? Salah satu caranya ialah memutus rantai kegagalan di masa lalu. Proses seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan perlu diperketat dan diawasi dengan seterbaik mungkin. Bagaimana mungkin kita mengharapkan referensi pendidikan bangsa ini untuk mereka yang spesialuntuk lulus tes tertulis? Apakah keteladanan sanggup diukur secara valid dan reliabel dari proses ibarat itu? 

Saya teringat sebuah pepatah kuno yang sebut bahwa salah satu yang merusak huruf insan modern ialah semakin jauhnya ia dari ajaran-ajaran agama padahal inti dari nilai-nilai huruf terbaik spesialuntuk ada di dalam fatwa agama. Hal ini tentu saja sanggup juga dijadikan materi pertimbangan. Oleh sebab itu, dalam tes-tes seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan yang lain perlu dimasukkan unsur-unsur agama sebagai syarat. melaluiataubersamaini tujuan, supaya terseleksilah calon-calon pendidik bangsa yang dekat dengan agama. Agar kelak, belum dewasa bangsa bukan spesialuntuk didekatkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga dieratkan dengan nilai-nilai huruf agama. 

Apabila ini sanggup terealisasi dengan baik, kelak akan tercipta generasi-generasi yang penuh keteladanan dan berkarakter baik. Dan nyatanya, memang itulah inti dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya.