Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyikapi Murid Nakal, Dibina Atau Dibinasakan?

INIRUMAHPINTAR - Setiap sekolah niscaya mempunyai anakdidik-anakdidik badung. Keberadaan mereka terkadang dianggap sebagai pengganggu dan sering kali ingin disingkirkan. Yah, di satu sisi, mereka nyatanya memang menjengkelkan tetapi di sisi lain mereka perlu perhatian. Di ketika jam pelajaran, mereka biasanya menjadi sumber keributan yang kadangkala menguji kesabaran sang guru. Mereka pun jarang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dan hari-hari mereka dipenuhi dengan acara masa bodoh. Teman-kawannya pun jarang yang respect dan lebih suka menghindar. Anehnya, anakdidik nakal tetap saja punya imbas dan terkadang menjadi bos atau pemimpin di kelompoknya. Mereka juga sering kali menjadi penggagas atau inisiator untuk meninggalkan pelajaran alias bolos. Pelanggaran demi pelanggaran selalu saja dilakukan, meski berulangkali memperoleh wetidakboleh dari guru-guru, terutama yang menangani Bimbingan dan Konseling (BK). Tidak sedikit guru yang mulai stress dibuatnya. Di beberapa kasus, bahkan ada guru yang hingga menangis dan memohon-mohon kepada Kepala Sekolah untuk tidak mengajar di kelas anakdidik-anakdidik badung. 

Kasus kebadungan anakdidik-anakdidik bukan saja dihadapi di negara-negara berkembang, di negara maju pun masalah serupa banyak terjadi. Di antara bawah umur cerdas, pintar, penurut, niscaya ada bawah umur yang sedikit menyimpang dari harapan para guru. Jika dikembalikan ke judul artikel ini, untuk menyikapi mereka, apa yang mesti dilakukan? anakdidik nakal perlu dibina kah? atau dibinasakan atau dikeluarkan saja dari sekolah?


Sekali lagi, untuk menemukan solusi atas salah satu duduk masalah di dunia pendidikan ini, kita perlu melihatnya dari banyak sekali sudut pandang. Tentu, kita sudah pahami bahwa setiap orang mempunyai watak, lingkungan, kepribadian, bimbingan dari orang bau tanah yang tidak sama-beda. Jadi, apa yang tampak di sekolah, sedikit banyak yakni bawaan atau cerminan perilaku yang diserapnya dari rumah dan lingkungan.

Sayangnya, tidak tiruana guru menyikapinya dengan bijak. Mereka tidak mau tahu, anakdidik-anakdidik yang tidak mengikuti pelajaran dengan baik, atau tidak mengerjakan kiprah sempurna waktu, atau yang suka mangkir mesti dieksekusi atau dimarahi. Niat guru bersangkutan sangat baik, yaitu untuk mendidik dan mengarahkan anakdidik-anakdidik nakal biar menjadi langsung yang baik. Namun, pertanyaannya yakni apakah dengan memarahi atau menghukum, mereka tiba-tiba menjadi anakdidik-anakdidik baik dan penurut keesokan harinya? Jawabannya tentu saja tidak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi.

Hal lain yang dilarang diabaikan yakni kadangkala ada anakdidik yang sesungguhnya tidak badung. Cuma alasannya pernah melaksanakan pelanggaran tata tertib sekolah satu kali, kemudian di cap "badung" oleh gurunya. Imbasnya, sang anakdidik menentukan untuk hirau tak hirau terhadap pelajaran dan cap "badung" dibawanya ke dalam perangainya di kelas. Siapa yang salah? Dalam hal ini, anakdidik nakal tercipta dari stigma guru yang salah dalam menyikapi anakdidik-anakdidik yang kebetulan tidak taat aturan. Lagipula, anakdidik-anakdidik yakni langsung yang masih goyah. Jadi, masuk akal kalau sekali waktu ia salah atau tidak taat tata tertib sekolah. Intinya, apapaun yang mereka lakukan, guru mesti menyikapinya dengan perlakuan yang sejuk, yaitu perilaku yang tidak menyakiti hati atau menurunkan semangat.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan oleh guru yakni bagaimana background si anakdidik badung. Kebadungan tidak selamanya menjadi perangai semenjak lahir. Hal ini kebanyakan terbentuk dari lingkungan. Bisa jadi sang anakdidik tersebut nakal alasannya ia yakni korban didikan orang bau tanah yang keliru. Atau dapat juga alasannya ia yakni anak dari keluarga broken home. Apakah guru pernah memikirkan hal ini? Bagaimana susahnya melewati hari-hari biasa dengan normal dengan dikawani tekanan batin yang begitu mengganggu di rumah?

Di masalah lain, ada juga anakdidik badung, bukan alasannya problem ekonomi, melainkan alasannya orang bau tanah mereka sibuk bekerja dan jarang berkumpul bersama. Si anak memang dimanjakan dengan materi. Apapun yang ingin ia beli, tiruana disiapkan. Bahkan, ia pun bebas mau kemana saja tanpa dipantau oleh orang tua. Imbasnya, sang anak tidak pernah mencicipi kedamaian dan hangatnya bersama ayah dan ibunya. Ia tidak pernah dikawani mengerjakan kiprah atau main bola di halaman rumah. Atau kalau ia perempuan, tak pernah sekalipun diajak ibunya berguru masak di dapur. Hari-harinya spesialuntuk dikawani oleh ajun rumah tangga yang terbatas dalam hal mendidik. Akhirnya, di sekolah ia tumbuh menjadi anak yang selalu mencari perhatian, adakala tidak mengerjakan PR atau suka mengganggu kawan-kawannya. Akibatnya, ia selalu kena hukuman dan dimarahi padahal tidak yang pernah menduga kalau dibina dengan baik, si anak ini akan menjadi langsung yang sangat baik.

Kasus serupa yang pernah diceritakan oleh rekan aku, ada anak yang sering mengantuk di kelas, jarang mengerjakan PR, dan sukanya bermalas-malasan. Si anakdidik pun di cap "badung" oleh sang guru. Begitu seterusnya, hingga ia menjelang kelulusan. Tahu-tahu, si anakdidik yang dianggap nakal ini ternyata sejatinya tidak badung. Ia ingin berguru normal ibarat anakdidik-anakdidik lain sebenarnya. Akan tetapi, sepulang sekolah, ia ikut ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan, dan di subuh hari menjelang ke sekolah, ia menemani ibunya jualan ikan di pasar. Ia pun tidak punya waktu untuk berguru dan sering terlambat masuk sekolah. 

Berdasarkan kasus-kasus di atas, sebagai guru kiranya kita perlu melihat ini dari banyak sekali kemungkinan. Jika ada anakdidik-anakdidik yang bermasalah, tidakboleh cepat-cepat menggelarinya dengan stigma negatif contohnya "anak badung", "tukang bolos", atau "pemalas", dsb. Hal itu bukannya membina melainkan membinasakan potensi anak berkembang lebih baik. 

Para guru justru harus menambah volume perhatian mereka ke anakdidik-anakdidik. Coba kunjungi anakdidik-anakdidik tersebut ke rumahnya atau ke lingkungannya. Sesekali bercengkramalah dengan orang tuanya. Atau usulkan ke sekolah untuk mengadakan event-event pertemuan antara orang bau tanah dan guru-guru di sekolah. Jalinlah komunikasi positif antara tiruana pihak untuk menempatkan anak menjadi posisi yang diuntungkan. Alasan utamanya yakni alasannya bagaimana pun badungnya anak, sejatinya ia masih dapat diubah, alasannya masa-masa sekolah yakni masa-masa dirinya menemukan jati diri terbaik untuk kehidupannya. 

Mungkin saja hari ini, seorang anakdidik dicap "badung", kelak ia sukses menjadi seorang atlet ternama, pengusaha kaya, tentara, polisi, dokter, atau sopir angkot yang tiap hari mengantar jemput para guru dan anakdidik pulang pergi sekolah. Bisa jadi ia pun akan menjadi orang bau tanah yang mempunyai bawah umur jago yang tidak lagi dicap sebagai anakdidik "badung".  Semua mungkin terjadi. Jadi, berhentilah menutup kemungkinan itu! Perlakukan tiruana anakdidik dengan bijaksana! Jangan pernah marah, membentak, atau mengeluarkan kata dan perilaku yang melukai hati anakdidik! Guru harus selalu menjadi langsung yang inspiratif, bagaimanapun feedback anakdidik-anakdidik terhadapnya.