Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Legenda Rawa Pening Singkat

Cerita Legenda Rawa Pening Singkat - Berikut ini, Anda akan membaca pola rewrite dari kisah rawa pening. 

Rawa Pening

Pada zaman lampau kala, hiduplah sepasang suami istri. Mereka hidup berdua dengan sederhana, tetapi mereka sangat murung alasannya hingga hari ini mereka belum dikaruniai oleh seorang anak pun. Hari demi hari mereka menunggu dengan sabar, tetapi belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Karena tak kuasa melihat istrinya terus bersedih, sang suami hasilnya memutuskan untuk pergi bertapa di Gunung Telomoyo untuk memohon semoga dikarunia anak.

Sesudah beberapa usang sang suami bertapa di lereng pegunungan, sang istri yang berjulukan Nyai Selakanta hamil. Perut Nyai Selakanta pun semakin hari semakin membesar hingga hasilnya beliau pun melahirkan seorang anak. Namun betapa terkejutnya Nyai Selakanta bahwa yang dilahirkan olehnya yakni sebuntut naga. Ajaibnya naga tersebut sanggup berbicara layaknya manusia. Nyai Selakanta pun menamainya Baru Khlinting. Sebenarnya Nyai merasa malu melahirkan sebuntut naga, tetapi meskipun begitu Nyai tetap merawatnya layaknya seorang manusia.

Hari demi hari Baru Khlinting semakin membesar. Hingga pada suatu hari beliau betanya kepada ibunya, “Ibu di manakah keberadaan ayahku?”. Nyai Selakanta pun memdiberitahukannya bahwa ayahnya sedang berada di lereng Gunung Telomoyo. Baru Khlinting pun pergi ke pegunungan demi menemui ayahnya yang sedang bertapa di sana. Sesudah hingga di kawasan ayahnya, Baru Khlinting bertemu seorang laki-laki bau tanah yang ialah ayahnya. Dia memperkenalkan dirinya, tetapi ayahnya tidak mempercayainya. Ayahnya kemudian meminta Baru Khlinting untuk membuktikannya. “Jika engkau memang anakku, coba lingkari pegunungan ini dengan tubuhmu,” pinta ayahnya.

Baru Khlinting pun melaksanakannya dan berhasil. Tetapi ayahnya masih belum mempercayainya. Dia kemudian memintanya untuk bertapa di Bukit Tugur untuk menjadi seorang manusia. Akhirnya pergilah Baru Khlinting melaksanakan perintah ayahnya. Selama dirinya melaksanakan pertapaan di sana, penduduk desa yang berada di bawah bukit sedang melaksanakan upacara adat. Mereka pergi berburu untuk mendapat makanan. Saat mereka datang di Bukit Tugur, penduduk desa menemukan Baru Khlinting yang sedang bertapa. Kemudian mereka memotong tubuhnya dan dan membawa dagingnya ke pesta adat.
Advertisement

Ketika para penduduk desa sedang menikmati makan besar bersama, hadirlah seorang anak kecil yang kumel dan amis yang ternyata ialah penjelmaan Baru Khlinting. Anak itu mendekati pesta itu dan berharap untuk didiberikan makanan. Namun penduduk desa menolaknya, “Pergilah kamu dasar pengemis! Tubuhmu kotor dan bau!”.  Melihat kejadian itu seorang perempuan bau tanah yang berjulukan Nyai Latung merasa kasihan kepadanya. “Nak ikutlah pergi ke rumah nenek!” perintah nenek itu. Anak itu pun pergi mengikuti nenek ke rumahnya.

Sesudah datang di rumah nenek itu, beliau didiberi makan yang banyak. Baru Khlinting pun sangat bahagia hingga menghabiskan tiruana masakan yang dihidangkan itu. “Terimakasih Nek, kamu sangat baik kepadaku tidak menyerupai masyarakat kampung itu!” kata anak itu. Sebelum pergi anak itu berpesan kepada nenek itu bahwa kalau dirinya mendengar bunyi gemuruh hendak mencari sebuah lesung dan menaikinya. Kemudian anak tersebut kembali lagi menuju pesta meriah tersebut.

Sesampainya di pesta tersebut, Dia kembali meminta masakan kepada masyarakat di sana. Akan tetapi beliau diusir dan di lempar hingga terjatuh. melaluiataubersamaini amarahnya anak itu bangun dari tanah dan mengeluarkan sebuah lidi. Kemudian lidi itu ditancapkannya di dalam tanah. Anak kecil itu pun menantang seluruh masyarakat desa, “Siapa yang sanggup mencabut lidi ini dari tanah, dialah orang yang kuat. Mendapat penghinaan tersebut seluruh masyarakat desa di sana mencoba untuk mencabut lidi itu namun gagal.

“Payah kalian sangat payah bahkan tidak sanggup mencabut lidi kecil itu,” ejek anak itu. Semakin usang masyarakat desa itu berkumpul di lapangan dan mencoba untuk mencabut lidi itu. Tetapi tak ada satu pun yang berhasil. Akhirnya anak itu mencabut lidi yang ditancapkanya ke dalam tanah. Tak usang setelah itu, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh yang sangat besar dan tanah bekas tancapan lidi tersebut mengeluarkan air yang semakin usang semakin deras. Air tersebut bermetamorfosis banjir yang besar dan menenggelamkan seluruh penduduk desa yang besar kepala tersebut. Baru Khlinting pun menghukum mereka hingga tak ada satu pun yang selamat kecuali seorang nenek bau tanah yang berhasil selamat alasannya berada di atas lesung. Hingga dikala ini rendaman air itu masih ada dan desa tersebut sudah bermetamorfosis rawa yang dikenal sebagai Rawa Pening.