Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis Sosio Historis Dalam Takwil Modern

sepertiyang setiap teks yakni sebuah fenomena historis dengan konteks khasnya sendiri, dan prinsip ini sanggup digunakan untuk al-Quran sebagai sebuah teks dan interpretasinya sebagai sebuah fenomena historis juga, maka konteks di mana al-Quran dikaji di dalam banyak sekali pedoman penafsiran pun juga harus diteliti. Seperti sudah dijelaskan bahwa historisitas al-Quran sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti, bahwa ia yakni teks manusia. Teks historis ini yakni subyek pemahaman dan interpretasi, sedangkan firman Tuhan berada dalam wilayah melampaui pengetahuan manusia.
Sehingga analisis sosio historis dalam takwil modern diharapkan untuk memahami dan melaksanakan interpretasi. Hingga sekarang spesialuntuk pendekatan filologi yang diterima; sedangkan analisis sosio-historis secara mutlak ditolak tidak spesialuntuk dalam bidang interpretsi teks tetapi juga dalam bidang keilmuan Islam.
Konsep yang menyampaikan bahwa teks-teks agama meskipun suci dan diwahyukan oleh ilahi tetapi secara historis ia sudah dibuat dan secara kultura dibangun, bukan spesialuntuk ditolak tetapi juga dihukumi sebagai atheis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa konsep al-Quran sebagai perkataan internal ilahi yang baka (eternal), yang ialah serpihan dari sebuah pedoman pemikiran teologi klasik tertentu, sudah menjadi iman Islam yang diterima oleh Sunni.
Pandangan ini meninggalkan ruang bagi reinterpretsi aturan agama, lantaran bahasa Tuhan (baca: firman) harus dipahami berdasarkan semangatnya bukan tulisannya. Konsekuensi finalnya yakni bahwa otoritas publik dan atau masyarakat berhak untuk mengungulkan diri dalam menginterpretasikan dan mengimplikasikan hukum. Jika firman ilahi di satu sisi awet, tidak tercipta dan awet, maka gagasan reinterpretasi di dalam sebuah situasi barupun menjadi haram/terkutuk; jadi jikalau demikian, maka tak ada lagi perbedaan antara karakter dan semangat aturan ilahi sehingga kaum teologilah yang berhak memelihara dan melindunginya.
Untuk mengilustrasikan pentingnya hal tersebut, atau kompleksitas persoalan teks ketuhanan ini dalam pemikiran Islam modern, seorang intelektual reformis Mesir yang sangat populer pada masa 19, Muhammad Abduh, dalam Risalat al-Tauhid, risalah modern pertama tentang teologi Islam, memutuskan untuk menentukan wacana teologi klasik yang dianggap paling baik dan berkhasiat bagi kaum Muslim modern. Dia mengkombinasikan banyak sekali iman dari banyak sekali pedoman teologi yang tidak sama dan menghadirkannya sebagai sebuah sintesis.
Islam yakni pesan yang diwahyukan, sedangkan wahyu itu sendiri berdasarkan Hanafi ialah firman ilahi yang didiberikan kepada Nabi in vebatim dan harus disampaikan secara in verbatim pula kepada manusia. al-Quran sangat terang mempersembahkan keterangan tentang hal itu. Sebuah pesan yang mewakili kekerabatan komunikatif antara pengirim (sender) dan peserta (receiver) melalui alat sistem arahan atau linguistik.
®
Kepustakaan:
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam Hasan Hanafi, (Bandung: TERAJU, 2002). Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Quran Hermeneutik Dan Kekuasaan, (Bandung: RqiS (Risearch for Quranic Studies), 2003).