Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Definisi Nasikh Dan Mansukh Berdasarkan Bahasa Dan Istilah

Kata nasikh dan mansukh ialah bentuk ubahan dari kata naskh, kata tersebut yaitu berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau nasakha, dari sisi bahasa kata nasikh sendiri mempunyai banyak makna, sanggup berarti:
Menghilangkan (al-Izalah), sebagaimana firman Allah swt.
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau seorang Rasul-pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap cita-cita itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. al-Hajj :52)
Merubahkan (at-Tabdil) sebagaimana dijalaskan oleh firman Allah swt.
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di kawasan ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: Sesungguhnya engkau yaitu orang yang mengada-adakan saja, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. al-Nahl: 101).
Bisa juga berarti at-Tahwil (peralihan) dalam hal ini berdasarkan asy-Sijistani, di mana ia termasuk dari golongan ulama yang hebat dalam bidang bahasa, sebagaimana yang berlaku peristilahan ilmu Fara’idh (Pembagian harta pusaka), yakni pengaliahan bab harta waris dari A kepada B.
Bisa bermakna al-Naql, yaitu pemindahan dari satu kawasan ketempat yang lain, misalnya: kalimat yang berarti memindahkan atau mengutip persis berdasarkan kata dan penulisannya.
sepertiyang berdasarkan Ahamd Von Denffer, ia menyampaikan bahwa kata naskh berarti (an active participle) yang mempunyai arti (abrogating), sedangkan mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti (the abrogated). hal ini ialah suatu teknis aturan dalam bentuk bahasa, yang niscaya ada pada wahyu al-Quran, dengan adanya penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain.
Dari beberapa definisi wacana naskh diatas, Nampak bahwa naskh mempunyai makna tidak sama-beda, sanggup berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang dihapus disebut nasikh, namun dari sekian banyak definisi itu, berdasarkan tarjih hebat bahasa, pengertian nasikh yang mendekati kebenaran yaitu naskh dalam pengertian al-Izalah, yakni berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan selainnya pada tempatnya.
sepertiyang dalam pengertian etimologi, naskh dalam termenologi mempunyai pengertian yang tidak sama-beda, sebagai mana pendapat yang menyampaikan bahwa naskh yaitu mengangkat atau menghapus aturan syariat dengan dalil aturan (khitab) yang lain.
Sementara sebagian ulama yang lain menyampaikan bahwa definisi naskh berdasarkan istilah yaitu mengangkat aturan syara dengan dalil syara yang lain, ini sanggup dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata naskh sama dengan meniadakan dan mencabut, beberapa ketentuan aturan syariat yang oleh asy-Syari (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu di pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang berpengaruh dan terang serta berdasarkan pada kenyataan yang sanggup dimengerti, untuk kepentingan suatu pesan tersirat dan spesialuntuk diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat dalam.
Dari beberapa devinisi diatas yang paling mendekati kebenaran dengan pengertian nasikh yaitu definisi yang pertama dan terakhir, yakni mengangkat aturan syara’ dengan dalil syara yang lain yang hadir kemudian, Maksudnya aturan atau undang-undang yang terlampau dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang baru, sehingga undang-undang yang usang tidak berlaku lagi.
Dalam termenologi aturan Islam (fiqih) aturan yang dibatalkan namanya mansukh, sedangkan aturan yang hadir lalu (menghapus) disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan yaitu aturan syara’ bukan aturan logika dan penghapusan itu alasannya yaitu adanya tuntutan kemaslahatan.
®
Kepustakaan:
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Singapura: Haramain, t.th). Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Kitab, 1983). Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1991). asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir, (Beirut-Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994). Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Singapura, Haramain, t.th). Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Kitab, 1983). Muhammad Abd Azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr, t.th).