Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Dan Dasar Aturan Ila'

Kata ila’ berasal dari bahasa Arab al-Aliyatu yang berarti sumpah. Al-Juzairi memdiberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara syarak, di mana syarak mengkhususkan spesialuntuk terhadap soal watha’ dari suami kepada istrinya. melaluiataubersamaini demikian sumpah tidak makan, minum atau lainnya tidak termasuk sumpah itu.
Sumpah ila’ yaitu sumpah yang bersangkutan dengan kekerabatan seksual dan sanggup diambil kesimpulan bahwa sumpah ila’ yaitu sumpah suami tidak akan menggauli istrinya dan oleh Islam dibatasai sumpahnya tersebut spesialuntuk selama empat bulan.
Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada semenjak zaman jahiliyah, yang pada masa itu sumpah ila’ ialah tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan tujuan biar istrinya merasa terkatung-katung menyerupai seorang wanita yang tidak memiliki suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut dengan tidak membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.
Kemudian seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ yang oleh risalahnya yang berupa wahyu didiberi batasan batas waktu tenggang empat bulan. Yang demikian tersebut biar hak-hak seorang istri sanggup terlindungi.
Dasar aturan ila’ terdapat dalam al-Quran yaitu firman Allah swt yang artinya:
Bagi para suami yang meng-ila’ istrinya, maka menunggu selama empat bulan, bila beliau kembali maka sebenarnya Allah swt maha pengampun dan maha penyayang. Bila beliau ingin, mentalaknya, maka sebenarnya Allah swt Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS: Al- Baqarah: 226-227)
Para ulama pun sepakat, kalau ada suami meninggalkan istrinya dalam batas lebih dari empat bulan, tidak juga disebut ila’ kecuali kalau beliau bersumpah. Oleh alasannya yaitu itu ada kaitanya dengan wajib kafarat, dan istrinya tidak tertalak alasannya yaitu ditinggalkan itu.
Adapun dasar aturan ila’ yang berasal dari hadis, yaitu:
Isma ’il berkata kepadaku dari Malik dari nafi’ dari Ibnu Umar: “Apabila sudah berlangsung empat bulan, maka tidak boleh hingga ia mentalaknya. Dan tidaklah terjatuh talaknya sehingga ia mentalaknya.”
Adapun terkena iddah bagi isteri yang di-ila’ berdasarkan para ulama bila seorang bersumpah tidak akan mendekati isterinya, kemudian masa ila’ yaitu empat bulan sudah silam, apakah istri yang diila’ harus menjalani iddah atau tidak, maka jumhur fuqaha beropini bahwa ia harus menjalani iddah.
Jabir bin Said beropini bahwa tidak wajib atasnya iddah kalau sudah berhaid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini dipegangi oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas ra, alasannya maksud diadakannya iddah yaitu untuk mengetahui kosongnya rahim, sedangkan kekosongan rahim ini sudah sanggup diketahui dari masa tersebut.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di-ila’ yaitu istri yang dicerai pula oleh jadinya ia harus diberiddah menyerupai wanita lain yang dicerai. Bila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, tetapi dalam masa empat bulan dua menyentuh istrinya itu, maka hentikanlah masa ila’nya dan beliau wajib membayar kafarat yamin (denda melanggar sumpah), tetapi kalu hingga habis mas empat bulan itu beliau tidak bersenggama dengan istrinya itu, maka jumhur ulama’ beropini bahwa istri berhak meminta kepada suaminya akan menyenggamainya atau mentalaknya.
®
Kepustakaan:
Achmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Abdul Rahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala Mazhab Al-‘Arba’ah, (Beirut: Lebanon, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th). Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawa’ul al-Bayan, (Damsyik, Syuriah Maktabat al-Ghazali, t.th). Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Bairut; Libanon: t.th). Muhamamd bin Isma’il, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).