Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadis Sebagai Tumpuan Kedua Sesudah Al-Quran

Para teman akrab di masa Rasul saw masih hidup mengambil hukum-hukum Islam atau syariat-syariat dari al-Quran yang mereka terima dari Rasul. Dalam pada itu, sering kali al-Quran membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak mufashshal kerap kali membawa keterangan-keterangan yang bersifat mutlaq dan muqayad.
Lantaran demikian, para teman akrab perlu kembali kepada Rasul saw, untuk mengetahui penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan bagi ayat-ayat yang sedemikian sifatnya. Adapun banyak pula kejadian-kejadain yang terjadi yang tidak ada nash yang menashkannya dalam al-Quran secara tegas. Dalam hal ini lebih-lebih lagi sangat dibutuhkan ketetapan Nabi yang sudah diakui sebagai keputusan Allah untuk disampaikan kepada umatnya tentang syari’at dan undang-undang.
Sesungguhnya Allah sudah melimpahkan nikmat-nya kepada para mukmini, alasannya yaitu Allah sudah membangkitkan dalam kalangan mereka seorang Rasul dari diri mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Allah dan mengheningkan mereka serta mengajari mereka kitab dan nikmat walaupun mereka lampaunya dalam sesat yang nyata. (QS.Ali Imron: 164).
Dalam terjemahan ayat tersebut, jumhur ulama dan jago tahqiq berpendapat, yang dikehendaki nikmat dalam ayat ini ialah keterangan-keterangan agama yang didiberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw, yang didiberi nama hadits. Ringkasnya tak sanggup diragukan lagi bahwa hadits yaitu sumber aturan yang kedua bagi hukum-hukum islam, dialah sumber yang paling banyak cabangnya dan paling lengkap undang-undangnya serta paling lebar penjelasannya, sehingga mempersembahkan perhatian yang penuh untuk mensyarahkan kandungan al-Quran dari hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran.
Ayat di atas pula yang menandakan bahwa hadits Nabi saw menjadi hujjah kedua dalam menetapkan aturan syara, sebagaimana sudah diterangkan di atas bahwa hadits itu ada yang mutawatir, shahih, hasan, dan dha’if. Di antara hadits tersebut sedikit yang menjadi hujjah, spesialuntuk hadits mutawatir, shahih, hasan, atau hadits lain yang dimenolong oleh hadits tersebut, sedangkan hadits dha’if tidak sanggup diambil menjadi hujjah dalam menetapkan syara.
Kaprikornus seluruh ulama setuju bahwa hadis itulah yang bertindak menandakan segala yang di kehendaki al-Quran, sekaligus menjadi rujukan aturan kedua setelah al-Quran, walaupun ada perbedaan-perbedaan paham terkena batas kehujjahan hadits. Mengingat kedudukan hadis (fungsinya) sebagai mana yang sudah disebutkan kita harus mempelajari hadits dengan sedalam-dalamnya, di samping itu perlu menepis dan menyaringnya.
®
Kepustakaan:
Hasbi As-Shiddiqi, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967).