Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Islam; Syariat Atau Fikih

Istilah aturan Islam di Indonesia dalam penerapan kesehariannya mengandung kerancuan (ambiguities) pemaknaan dan pemahaman, di satu sisi sebagai syariah di sisi lain sebagai fikih.
Dalam terminologi barat, aturan Islam dikenal dalam dua istilah. Pertama, Islamic law yang penerapannya lebih mengacu pada al-Syariah. Kedua, Islamic jurisprudence sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islami (Fikih Islam). Dalam perjalanan sejarahnya syariah sebatas berkaitan dengan soal aturan sehabis mengalami persentuhan dengan ra’yu atau rasio insan yang diformulasikan ke dalam term al-Fiqh al-Islami.
Syariat atau syara’ dalam bahasa arab secara harfiah berarti jalan yang harus dituruti oleh seorang muslim dalam penghidupanya atau dengan kata lain ialah aliran hidup (way of life) bagi setiap orang Islam. Ditinjau dari sudut ilmu hukum, syariah ialah dasar-dasar aturan yang mengatur seorang muslim dalam penghidupanya, dasar-dasar mana kita dapati dalam al-Quran.
Di dalam al-Quran dan hadis, istilah al-Hukm al-Islam tidak dijumpai. al-Quran maupun al-Sunnah memakai istilah al-Syariah, yang dalam penjabarannya lalu lahir istilah al-Fiqh. Pada titik inilah kita dikatakan, bahwa aturan Islam ialah seperangkat norma aturan dari Islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu Allah, sunnah Rasul-Nya, dan ijtihad para uliy al-amri.
Klasifikasi aturan ke dalam aturan publik, aturan perdata, aturan dagang, dan lain sebagainya bersifat relatif, tergantung sifat dan sejarah sistem perundang-undangan tertentu. Karena itu, pembagian terstruktur mengenai aturan yang dipakai oleh aturan romawi yang diadopsi oleh sistem perundang-undangan eropa modern itu tidak pernah dipakai para andal aturan Islam pertama. Para andal aturan syari’ah tidak membedakan antara aturan publik dan aturan perdata. Seperti dijelaskan oleh Joseph Schacht, pembagian terstruktur mengenai yang dibentuk andal aturan muslim pertama ialah antara “Hak Tuhan” dan “Hak manusia” yang tidak ada sangkut pautnya dengan aturan publik dan perdata.
Pengembangan materi aturan Islam yang bersifat inovatif mengacu pada upaya pembaharuan materi aturan Islam, baik wacana materi hukumnya maupun wacana sistematika penulisannya. Modifikasi pinjaman aturan islam menjadi 2 (dua) bidang yang dirinci menjadi beberapa bagian, yaitu:
Pertama: Ibadah yang mencakup shalat, puasa, haji, dan lain-lain.
Kedua: Muamalat yang mencakup Ahwal al-Syakhsyiyah, perdata, perekonomian, pidana, acara, politik pemerintahan, politik kenegaraan dan lain-lain.
Menurut imam Syafi’i susunan kaidah sanggup digolongkan menjadi 5 (lima) yaitu yang populer dengan istilah “al-Ahkam al-Khamsah” dimana seluruh perbuatan insan sanggup dimasukkan dalam salah satu golongan aturan yang lima tersebut:
  1. Fard (diharuskan) atau wajib, dengan ketentuan bila suatu perintah wajib dikerjakan ia menerima pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa.
  2. Sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan), dengan ketentuan bila dikerjakan sanggup pahala tapi bila tidak dikerjakan tidak berdosa.
  3. Mubah atau Jaiz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
  4. Makruh (tercela), yaitu dengan ketentuan kalau perintah larangan tidak boleh menerima pujian, sebaliknya bila dilanggar spesialuntuk dicela, tidak hingga dihukum.
  5. Haram, yaitu larangan keras dengan pengertian bila dikerjakan kita berdosa atau dikenakan eksekusi dan bila ditinggalkan kita menerima pahala.
®
Kepustakaan:
Abdullah Sidik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Widjaya, 1982). Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Pena madani, 2004). Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Gema media, 2001). Abdullahi Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta: LKIS, 2004). Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003).