Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukuman Bagi Orang Murtad Berdasarkan Fikih

Hukuman bagi orang yang murtad berdasarkan fikih ada dua macam. Pertama sanksi mati, dan dirampas harta bendanya.
Hukuman Mati
Hukuman bagi orang yang murtad ialah sanksi mati. Tidak dibunuh orang murtad kecuali ia sudah balig dan berilmu sehat, dan penetapan riddah dengan perkataan atau kesaksian. Menurut Jumhur Ulama kewajiban membunuh orang murtad tersebut didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad saw:
Telah menceritakan kepadaku (imam Bukhari) Abu Nu’man Muḥammad bin Faḍl, sudah menceritakan kepadaku Ḥammad bin Zaid. Dari Ayyub dari Ikrimah ia berkata Ali ra, pernah memperabukan orang kafir zindiq, kemudian hal itu hingga pada Ibnu Abbas, dan ia berkata: Sungguh saya belum pernah memperabukan mereka alasannya larangan Rasulullah saw. “Janganlah engkau mengazab mereka dengan azab Allah”. Dan saya membunuh mereka alasannya sabda Rasulullah saw. “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari)
Hukuman mati ialah sanksi yang berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik pria maupun perempuan. Kecuali Imam Abu Hanifah yang membedakan antar sanksi pria dan perempuan.
Golongan Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah mengatakan, bahwasanya aturan atau status perempuan yang murtad ialah sama menyerupai pria yang murtad. Maka wajib diminta biar ia bertobat selama tiga hari sebelum dibunuh, dan diajak memeluk Agama Islam, alasannya bahwasanya darahnya dihormati dalam Islam, dan barangkali terdapat subhat berupa fasiq, maka diusahakan untuk menghilangkannya. Dan penetapan kewajiban diminta bertobat oleh Umar ra.
Daroqutni meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, bahwasanya ada seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummu Ruman sudah murtad, maka Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk mengajaknya kembali pada Islam bila ia bertobat, dan apabila ia tidak mau kembali maka bunuhlah, alasannya dengan murtad maka kedudukannya menyerupai kafir harbi. maka boleh membunuhnya sebagai sanksi (had) tetapi dosanya lebih keji dari dari pada kafir harbi alasannya ia pernah memeluk Agama Islam.
Madzhab Malikiyyah berkata, perempuan yang murtad apabila sedang menyusui maka eksekusinya ditangguhkan alasannya untuk kesempurnaan menyusui anaknya dan dilarang diambil anaknya. Ditangguhkan juga perempuan yang mempunyai suami, dan perempuan yang dalam keadaan talak raj’i. Adapun perempuan yang ditalak ba’in bila ia murtad setelah haid dan setelah ditalak maka tidakboleh ditangguhkan., dan bila belum haid maka ditangguhkan alasannya menunggu haid walaupun kebiasaannya lima tahun sekali. Jika ada perempuan yang sudah tidak rindang dan sudah renta yang ragu akan hadirnya haid maka ia didiberi kebebasan selama tiga bulan. Jika ada perempuan yang sedang mengandung dan bila ia terang tidak mengandung maka dihukum setelah ia bertobat, dan apabila ia tidak mempunyai suami maka ia tidak didiberi kebebasan.
Penyitaan atau Perampasan Harta
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, apabila orang murtad meninggal atau dibunuh maka hartanya menjadi milik bersama dan dilarang diwaris oleh siapapun. Atau dengan kata lain, harta tersebut harus disita oleh Negara untuk bait al-mal. Imam Malik mengecualikan dari ketentuan ini harta orang kafir zindiq dan orang munafiq. Menurut Imam Malik harta tersebut sanggup diwaris oleh hebat waris yang beragama Islam.
®
Kepustakaan:
Ensiklopedi Islam III, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeva,tt). Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Bulan Bintang, Yogjakarta, 1967). Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus, Dar Al-Fikr, 2006). Abu Abdillah Muḥammad bin Isma’il al-Bukhari, Ṣahih al-Bukhari, (tp: Dar al- Fikr, 1981). Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzhab Al-Arbi’ah, (Beirut-Libanon, Dar Al-Kitab, t.th).