Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ila' Kala Nabi Dan Kala Jahiliyah

Seperti sudah dijelaskan di atas bergotong-royong ila’ berdasarkan pengertian Bahasa Arab yaitu menolak sesuatu dengan bersumpah atau mengelak dengan sumpah. Adapun berdasarkan istilah fiqih yaitu menolak tidak mau bersenggama dengan istri dengan bersumpah. Sumpah itu sanggup dalam bersumpah dengan nama Allah swt, atau berpuasa, atau bersedekah, atau mengerjakan ibadah haji, atau mentalaknya.
Pada masa Jahiliyyah ada suami yang bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama satu atau dua tahun atau lebih dengan maksud merusaknya, sehingga istrinya itu bagaikan orang yang digantung. Dan sumpah itu ialah kebiasaan kaum Jahiliyyah. Tentu saja sumpah semacam ini ialah penghinaan dan permusuhan yang kasatmata serta bertindak dzalim terhadap hak-hak istri.
Pada zaman Jahiliyyah ila’ sanggup terjadi meskipun istri tidak berbuat suatu kesalahan. Namun Islam hadir mencabut akar-akar budbahasa kebiasaan ini, dan membuat batasan tegas lagi diperbolehkannya ila’ yang jika melanggar, istri sanggup menuntut untuk bercerai dari suami. Batas waktu ila’ spesialuntuk berlaku empat bulan. Kalau suami menggauli istri dalam masa ini, berarti beliau sudah melanggar sumpahnya dan oleh jadinya beliau wajib membayar kifarat.
Anas sebut bahwa: Rasulullah saw meng-ila’ salah seorang istrinya satu bulan, kakinya yang mulia sudah beranjak, maka bangkit di daerah minum yang sudah beranjak, maka berdirilah disediakan untuknya selama 29 hari lalu turun (melepaskan), sobat bersahabat bertanya: Ya Rasulullah saw engkau ila’ sebulan ? Nabi menjawaban “satu bulan 29 hari”. (HR. Bukhari).
Ada dua pendapat wacana sumpah ila’ itu apakah harus dengan nama Allah swt, yaitu sebagai diberikut 1) Tidak harus dengan nama Allah swt; 2) Harus dengan nama Allah swt. Adapun pendapat yang pertama itu lebih kuat. Maka apabila seorang berkata kepada istrinya “Apabila saya bersenggama denganmu (istri) saya harus berpuasa/ shalat,” sudah termasuk ila’.
®
Kepustakaan:
Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Asy Syifa’, Semarang, 1938), Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Bairut Libanon: Daar al-Kitab al-Islamiyah, 595 H). Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1999).