Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebebasan Insan Berdasarkan Al Attas

Bagi al-Attas, dilema diciptakannya insan sebagai hamba dan Khalifah Allah swt di muka bumi, sudah usang tuntas pada waktu sebelum perpisahan (Time of Pre Separation), tepatnya ketika Tuhan mengumumkan kepada para malaikat bahwa Dia akan membuat Khalifah di muka bumi. Sebagai Khalifah, insan tidak spesialuntuk didiberi kekuasaan pengaturan pada hal-hal yang bersifat material dan aspek-aspek sosiopolitik, lebih penting lagi kekuasaan itu mencakup beberapa aspek pengaturan terhadap dirinya sendiri dalam rangka menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman.
Dalam konteks bahwa insan mempunyai kebebasan, al-Attas menyatakan bahwa ketika insan mengambil atau menentukan untuk mendapatkan amanah itu, pilihan insan tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa mempunyai kebebasan menentukan yang sebaliknya. Artinya setiap orang sudah menyadari tiruana implikasi yang menempel bersama pilihan tersebut. Al Attas menegaskan bahwa kebebasan sudah terjadi pada ketika itu.
Kebebasan ialah syarat mutlak untuk pengembangan potensi fitrah insan serta kemampuannya untuk diberinteraksi dengan lingkungan. sepertiyang dikutip Chabib Thoha, Iqbal dalam sebuah sajaknya ihwal kebebasan menggambarkan bahwa kehidupan ibarat pedoman air, dan pendidikan yakni proses mengalirkan debit air yang bersumber dari kesadaran individualisme insan sendiri.
Konsep kebebasan insan al-Attas tidak sama dengan para pemikir Islam modernis, ibarat pendapat Lutfi Sayyid (salah seorang anakdidik Muhhammad Abduh). Al Attas menunjukan bahwa pencarian insan akan kehidupan beragama yang benar spesialuntuk akan sanggup ditemukan dengan cara kembali kepada fitrah yang asal, lantaran baginya harapan dan pengetahuan terkena penyerahan diri kepada Tuhanlah yang gotong royong di sebut dengan kebebasan insan sejati.
Menurut Al Attas, istilah yang sempurna untuk perkataan kebebasan dalam Islam terkandung dalam salah satu istilah teologis, ikhtiar. Ikhtiar sebagaimana yang digunakan dalam teologi Islam, tidak sama dengan inspirasi modern terkena kebebasan, alasannya yakni akar kata ikhtiar yakni khair atau baik, yang berarti “memilih sesuatu yang terbaik”.
Walaupun insan didiberi kemampuan untuk mengikuti atau menolak perintah Allah swt yang termaktub dalam aturan agama (syariat), insan tetap tidak bisa menolak kehendak Allah swt. Al Attas menilai bahwa kebebasan sejati spesialuntuk bisa dicapai ketika insan sudah memperoleh illuminasi spiritual atau gnosis (ma’rifah), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. Bahkan pada tahap ini pun, ia masih terikat dengan kewajiban untuk menghambakan diri kepada Tuhan.
Dari pemaparan Al Attas ihwal Kebebasan manusianya, tentunya berkaitan dengan perbincangan metafisika Islam. Namun, Al Attas tetap mempersembahkan ruang di tengah keterbatasan sebagai hamba dan sekaligus Khalifah yaitu pertama, potensi primordial insan harus tetap diolah dalam proses pendidikan yang lebih efektif dan kreatif. Kedua kemampuan atau ketidakmampuan yang dimiliki insan sanggup diperbaiki dalam proses pendidikan yang lebih efektif dan kreatif.
®
Kepustakaan:
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogjakarta; Sipress), 1993). Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung; Mizan), 1996). Djamaludin Darwis, Manusia berdasarkan pandangan Al Qur’an, dalam Chabib Thoha,Fatah Syukur, Priyono (penyunting), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Bekerjasama Pustaka Pelajar, 1996). Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996).