Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Landasan Syariat Utang Piutang

Allah mempersembahkan segala suatu disertai landasan-landasan yang sesuai dengan keadaan, hal itu tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan umat yang ada di muka bumi ini. Adapun landasan syariat utang piutang itu sudah disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang diberiman, apabila engkau bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah engkau menulisnya ...
Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada orang yang diberiman supaya mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah diperintahkan oleh Allah swt dalam setiap melaksanakan perjanjian perserikatan secara tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga alat bukti yang sudah ada nantinya sanggup dijadikan dasar untuk menuntaskan suatu perselisihan yang mungkin terjadi antara pihak yang melaksanakan perjanjian di lalu hari.
Landasan utang-piutang juga dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 245:
Siapakah yang mau memdiberi proteksi kepada Allah, proteksi yang baik (menafkahkan ke jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat-Nya rela berkorban menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan proteksi kepada-Nya. Sebabnya Allah swt, menamakannya proteksi padahal Allah sendiri Maha Kaya, ialah alasannya Allah mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini sanggup dirasakan bahwa seseorang hartawan kadang kala simpel saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jikalau yang ditolong itu kerabatnya sendiri.
Mengenai problem utang-piutang Nabi Muhammad saw juga bersabda dalam haditsnya:
Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda: “Siapa yang berutang dengan maksud membayarnya kembali Tuhan akan menolongnya dalam membayar kembali. Siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud untuk menghilangkannya, Tuhan akan menolong menghilangkannya.”. (HR. Bukhari)
Maksud hadis tersebut, seseorang diperbolehkan untuk melaksanakan utang-piutang dengan orang lain, asalkan orang yang berutang itu mempunyai niat untuk mengembalikannya, alasannya Allah swt sendiri akan menyampaikan jalan bagi orang yang berutang dan ada niat untuk mengembalikannya. Akan tetapi mabadunga ada orang melaksanakan aqad utang-piutang dan ia tidak mempunyai niat untuk mengembalikan, maka Allah pasti akan membalasnya, yaitu berupa kesusahan rizki, bahkan ada yang menyampaikan Allah akan membalasnya pada hari kiamat.
Bertitik tolak dari landasan-landasan utang-piutang yang sudah disebutkan di atas maka sanggup diambil suatu kesimpulan, bahwa praktek utang-piutang itu diperbolehkan asalkan dalam utang-piutang tersebut mempunyai niat yang terang dan tidak melanggar tata hukum dalam agama. Maksudnya, orang yang mempersembahkan proteksi mempunyai niat ingin menolong orang yang sedang membutuhkan, sedangkan orang yang berutang hendaknya mempunyai niat untuk mengembalikan harta yang dipinjamnya.
Syarat dan rukun utang-piutang itu bersama-sama hampir sama dengan syarat dan rukun yang terdapat dalam jual beli. Rukun utang ialah sebagai diberikut:
  1. Adanya sighat aqad yang mencakup ijab dan qabul;
  2. Aqid yang mencakup orang muqaridh (yang meminjam) dan muqtaridh (peminjam) yang disebut dengan subyek utang
  3. Ma’qud alaih yang mencakup harta yang dipinjam, yang disebut dengan obyek qaradh.
®
Kepustakaan:
Zainuddin Hamidy, et. all., Terjemah Hadist Shahih Bukhari, (Jakarta: Widjaya, 1996). Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath Al-Bari, (Lebanon: Dar Al Fikr, t.th).