Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Latar Belakang Munculnya Transliterasi

Tiap-tiap bahasa memiliki sistem sendiri, baik dalam tata bunyi, kosakata, susunan kalimat dan sosial budaya. Tak heran apabila setiap orang merasa kesusahan dalam mempelajari bahasa asing. Karena, sejak kecil bahasa ibu (mother tongue) sudah tertanam pada dirinya melalui kebiasaan. Alat ucapnyapun sudah diset untuk melafalkan bunyi-bunyi bahasanya sendiri. Sehingga, ketika dihadapkan dengan bahasa asing, beliau belum siap untuk merubah kebiasaan alat ucapnya itu.
Permasalahan bahasa asing, bukanlah suatu penghambat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Karena penguasaan bahasa asing, dalam perkembangan ilmu pengetahuan yaitu sesuatu yang mutlak, terutama dalam hal penerjemahan dan penulisan karya-karya ilmiah.
Menurut sejarah, Islam berada dalam zaman keemasan pada masa Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun. Pada masa itu, negara Islam menjadi sentra kebudayaan dan peradaban dunia, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Ilmuwan-ilmuwan Arab pada dikala itu, banyak menerjemahkan buku-buku Yunani untuk dipelajari. Sehingga, mereka sanggup mengolah dan menemukan kembali (rediscovery) disiplin ilmu baru, ibarat filsafat, kedokteran, aljabar, ilmu ukur, kimia dan sastra.
Hal itu juga ditegaskan oleh Ali Abd al-Wahid Wafi dalam bukunya `Ilmu al-Lugah bahwasanya, bahwa pada masa Bani Abbasiyah, yaitu masa yang paling banyak memdiberi kontribusi bagi kebangkitan bahasa Arab, di mana para sastrawan dan ulama Arab banyak mempelajari bahasa Persia dan Yunani dengan cara menerjemahkan buku-buku aneh dan memdiberi beberapa keterangan di dalamnya. Mareka sangat antusias sekali dalam mengulas masalah-masalah itu dan dari situlah mereka mendapat istilah-istilah ilmiah.
Disamping itu, pada masa keemasan Islam, banyak hal luar biasa yang terjadi. Diantaranya yaitu penyebaran bahasa Arab ke daerah-daerah non-Arab. Seorang profesor bahasa Arab dari University of Oxford, A.F.L Beeston menyampaikan bahwa,
Soon after A.D. 700 a great change came over the situation. The Muslim conquests had dispersed Arab setlers over a vast stretch of territory from Spain to Eastern Persia...More important, the Muslim conquests resulted in the adoption of the use of Arabic by vast numbers of non-Arabs, among whom were to be found the intelectual elite of the Muslim world; and this let to a very rapid and significant evolution in common language itself.”
Banyak hal yang terjadi pada dikala orang-orang Islam menyebarkan akupnya ke negara-negara sekitarnya. Bersamaan dengan itu, bahasa Arab juga berkembang keseluruh negara-negara taklukan itu. Pengadopsian bahasa Arab banyak dilakukan oleh orang-orang non-muslim, sehingga terjadi evolusi yang sangat cepat dan signifikan pada bahasa pada masa itu.
Usaha orang Arab, dalam mempelajari buku-buku Persia danYunani, dan orang non-Arab yang mempelajari bahasa Arab, secara mulut maupun tulisan, nampaknya sudah membuahkan hasil. Rediscovery yang dilakukan orang Arab wacana ilmu-ilmu Yunani melahirkan beberapa disiplin ilmu baru. Sedangkan, penguasaan bahasa Arab oleh orang-orang non-Arab, sudah banyak tertuang dalam buku-buku wacana studi Islam.
Semangat itupun dimiliki oleh para ilmuwan Barat yang mengkaji ilmu dari negara Arab. Pengkajian itu dilakukan dengan gerakan transliterasi terhadap buku-buku ilmiah Arab. Usaha itu banyak dilakukan oleh para orientalis yang ingin mempelajari agama dan kebudayaan Arab. Padahal, buku-buku tersebut menggunakan bahasa Arab, bahasa yang aneh bagi mereka. Tetapi mereka tidak berhenti atau mengalah begitu saja. Buktinya, dikala ini, banyak dijumpai buku-buku wacana studi Islam yang ditulis oleh orang-orang non-muslim.
Karya-karya yang bernilai tinggi di atas, sudah banyak tersebar di penjuru dunia. Sehingga tidak spesialuntuk orang Islam saja yang membacanya, bahkan orang-orang non-muslimpun sudah banyak yang mempelajarinya. Untuk mencegah kesalahpahaman dalam pemaknaan istilah-istilah yang dipakai, para penulis menggunakan sistem transliterasi. Sistem ini digunakan oleh para penulis untuk menuliskan istilah-istilah yang tidak sanggup diterjemahkan. Ini sangat memmenolong pembaca yang non-muslim dalam mempelajari sumber-sumber Islam.
Sebenarnya, tidak spesialuntuk orang non-muslim saja yang membutuhkan sistem transliterasi, akan tetapi seorang muslimpun masih membutuhkannya. Dikarenakan, pengetahuannya yang lemah terhadap baca-tulis Arab. Seperti halnya umat Islam di Indonesia, walaupun secara lebih banyak didominasi mereka memeluk agama Islam, akan tetapi banyak yang tidak bisa membaca sumber-sumber Islam dalam goresan pena Arab. Ironis sekali, apabila orang Islam sendiri tidak bisa membaca kitab suci agamanya sendiri. Untuk itu, disusunlah pedoman pengalihan aksara arab ke aksara latin yang mana ditujukan bagi siapa saja yang masih kurang pengasaan Arabnya.
Disamping itu, yang bisa membaca aksara Arab sebernarnya membutuhkan pedoman transliterasi. Terutama mereka yang banyak berkecimpung dalam bidang kelekturan. Buku-buku studi Islam dikala ini, banyak menuliskan istilah-istilah Arab dan goresan pena Latin untuk mempergampang penulisan. Jadi, istilah-istilah itu tidak harus ditulis dalam aksara Arab, akan tetapi cukup menuliskan transliterasinya saja, sehingga pembaca sanggup membaca istilah Arab tersebut dengan fasih walaupun tidak ditulis dengan aksara Arab.
Pedoman itulah yang nantinya digunakan untuk megampangkan pemahaman bangsa Indonesia terhadap goresan pena arab. Sehingga seluruh umat Islam di Indonesia sanggup memahami, menghayati dan mengamalkan apa-apa yang tertulis dalam sumber-sumber Islam.
®
Kepustakaan:
Chatibul Umam, Pengajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, (Jakarta: t. pn, 1975). Ali Abd al-Wahid Wafi, Ilmu al-Lugah, (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriyyah, 1962). A.F.L Beeston, The Arabic Language Today, (London: Hutchinson, 1970).