Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Model Pemilihan Dalam Khilafah

Islam yang diyakini umatnya sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan, tetapi semasa Nabi Muhammad saw, sama sekali tidak menyinggung secara eksplisit tentang kekuasaan dan pemerintahan. Karena alasan itulah di antara pemikir muslim ada yang menolak klaim Islam yakni agama dan siyasah, ibarat Ali Abdul al-Raziq.
Tetapi jikalau menengok kebelakang sejarah panjang kepemimpinan dalam Islam, maka model pemilihan khalifah dalam Islam sangat beragam, dan model-model ini hingga ketika ini dipegang oleh sebagain umat Islam sebagai model Islami, dan dikalim sebagai konsep politik Islam. Di antara model-model tersebut adalah:
Ahl al-Hal wa al-Aqd
Ahl al-Hal wa al-Aqd diartikan dengan orang-orang yang memiliki wewenang untuk mengikat dan melonggarkan. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara lain menentukan Khalifah, Imam dan Kepala Negara secara langsung. Peranan golongan ini sangat penting untuk menentukan salah seorang di antara ahl Imamat (golongan yang berhak di pilih) untuk menjadi Khalifah.
Perumusan tentang istilah Ahl al-Hal wa al-Aqd didasarkan sistem yang berlaku bahwa pemilihan kepala negara spesialuntuk dilakukan oleh sekelompok orang saja tapi ialah representasi dari masyarakat yang ada. Sehingga mereka yakni orang yang berkecimpung eksklusif dengan masyarakat yang sudah mempersembahkan iman pada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil mereka alasannya ikhlas, konsekuen, adil dan gigih dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Menurut J. Suyuthi Pulungan, mereka itu bukan pilihan secara resmi, tetapi karena mereka punya efek di tengah masyarakat. Karena itu mereka di percaya melaksanakan kiprah demi kemaslahatan orang banyak. Umat pun mengikuti dan mempercayakan urusan mereka kepada orang-orang pilihan tersebut. Dalam sejarah praktek ini pernah terjadi, bahkan tidak jarang Nabi Muhammad saw mengikuti pendapat sobat dekatnya demi untuk menghormati pendapat mayoritas.
Adapun kiprah dari Ahl al-Hal wa al-Aqd di samping punya hak pilih, yakni menjatuhkan khalifah jikalau terdapat hal yang mengharuskan untuk dipecat. Jika kepala negara melaksanakan tindakan yang berperihalan dengan agama dan kemaslahatan rakyat, Ahl al Hal wa al Aqd berhak untuk memberikan mosi tidak percaya kepadanya.
Baiat
Istilah baiat berarti menjual. Baiat mengandung makna perjanjian; kesepakatan setia atau saling berjanji setia. Dalam pelaksanaa bai’at selalu melibatkan dua pihak yang suka rela, maka baiat secara istilah berarti ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seolah-olah salah satu menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dan kesetiannya kepada pihak kedua secara tulus dalam hal urusannya.
Implementasi baiat dalam hak dan kewajiban secara timbal-balik tergambar dalam Al-Qur’an yang menyatakan; bila Nabi Muhammad saw mendapatkan kesepakatan setia perempuan mukmin bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah swt, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat dusta dan mereka tidak akan mendurhakainya dalam urusan yang baik. Maka ia harus mendapatkan kesepakatan itu dan memperlakukan mereka dengan baik serta memohonkan ampunan dari Allah swt kepada mereka.
Mandat
Sebagian umat Islam beropini bahwa kekuasaan bahwasanya atau pada hakekatnya yakni milik Allah swt semata. Allah mengamanatkan kekuasaan pada insan semoga mereka menjalani kehidupannya, baik secara individu maupun komunal yang keduanya mengarah pada menyembah kepada-Nya.
Proses pemdiberian amanat ialah pelimpahan dari Allah swt kepada manusia, dalam hal ini sanggup di bagi menjadi dua hal. Pertama, mandat yang bersifat umum dan khusus. Mandat yang bersifat umum yaitu sesuatu yang berkenaan dengan pengertian khalifah secara umum sebagai makhluk.ia berkewajiban mengelola dan merawat alam semesta serta menjaga kestabilan kehidupan. Sedangkan yang bersifat khusus yakni mandat yang dilimpahkan Allah swt secara khusus kepada seseorang untuk memimpin di bumi
Waris
Pergantian Khalifah selain menggunakan model tersebut juga menggunakan cara kewarisan, seorang Khlaifah terlampau berhak mewariskan tahtanya kepada siapa saja, baik anak, saudara atau yang dianggap bisa untuk memegang tampuk kepemimpinan.
Khalifah yang sudah mulai udzur ia akan mengangkat putra mahkota yang nanti bila suatu ketika meninggal dunia secara otomatis putra tersebut yang akan mengambil alih kiprah dan pangkat ke-khalifah-an.
Model ini di pakai mulai Bani Umayyah berkuasa, Muawiyyah mewariskan ke-Khalifahan pada Yazid, dari sini kekuasaan menjadi sentralistik dan monarkhi. Sistem monarkhi Islam yang dirintis oleh Muawiyyah- sebagai bentuk fasilitas atas kondisi yang melingkupinya- terus berlaku di negara-negara Islam.
Wujud dari sistem waris ini yakni pada masa Daulah Abbasiyyah, ketika Khalifah al-Makmun meninggal dunia ummat menginginkan membaiat anak al-Makmun, Abbas sebagai Khalifah tetapi putra khalifah tersebut tidak mau diangkat sebagia Khalifah demi menghormati kakeknya yang sudah mewasiatkan kepada al-Qasim untuk mengganti al-Makmun. Kepatuhan terhadap nenek moyang menjadi kunci dari pewarisan kekhalifahan tersebut.
®
Kepustakaan:
Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rays, al-Nazhariyat al-Siyasat al-Islamiyat, (Maktabah al-Anjlu al-Manshurat, Mesir, 1960). Ali Abdur Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah), terj. Afif Mohammad “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam,” (Bandung: Pustaka, 1985). Khalil Abdul Karim, Syariah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, (Yogyakarta: LKiS, 2003). Ibnu Manzur, Lisan al Arab, (Dar Sadr, Beirut, 1968). Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Rajpertamai Press, Jakarta, 1983). Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997).