Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendapat Ulama Fikih Perihal Aturan Liwath (Sodomi)

Ulama fikih setuju bahwa liwath atau sodomi ialah dosa besar. Dosa perbuatan yang lebih besar dari pada zina, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Hanya saja di antara ulama tidak sama pendapat dalam memilih ukuran eksekusi yang harus diputuskan bagi pelakunya. Ada tiga pendapat, terkena hokum liwath atau sodomi, yaitu:
Pendapat yang menyampaikan bahwa pelakunya harus dibunuh secara mutlak. Pelakunya harus dihadd, sebagaimana had zina, bila pelakunya masih jejaka, maka ia harus di dera, sedangkan bila pelakunya sudah duda (muhson), maka ia harus dirajam.
Pendapat yang menyampaikan bahwa pelakunya harus didiberi hukuman (ta’zir). Pendapat ini didasarkan dikala para sobat bersahabat Rasulullah. diantaranya Nashir, Qosim bin Ibrahim dan al-Syafi’i (dalam satu pendapat) menyampaikan bahwa hadd terhadap pelaku liwath ialah aturan bunuh, meskipun pelakunya masih jejaka (ghoiru muhson),baik ia mengerjakan maupun yang dikerjai.
Pendapat ini berdasar dalil-dalil diberikut:
Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa mengetahui seseorang sudah berbuat liwath (perbuatan kaum Luth), maka bunuhlah keduanya, baik pelakunya maupun partnernya. (HR. al-Khamsah kecuali an-Nasa’i)
Ahmad Ibn Hanbal juga meriwayatkan sabda Rasulullah: Allah melaknat orang yang melaksanakan perbuatan kaum Luth.
Para tabi’in diantaranya Sa’id bin Mussayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Qotadah, Nakhai, al-Tsauri, al-Auzai, dan al-Syafii dalam satu pendapat menyampaikan bahwa pelaku liwath yang masih jejaka dijatuhi eksekusi hadd dera dan dimembuang. Sedangkan pelaku liwath yang duda (muhson) dijatuhi aturan rajam.
Bahwasanya liwath ialah perbuatan sejenis dengan zina, sebab liwath itu perbuatan memasukkan kemaluan pria (penis) ke anus pria lain. melaluiataubersamaini demikian maka pelaku liwath dan partnernya sama-sama masuk dalam keumuman dalil dalam dilema zina, baik muhson ataupun tidak.
Menurut Abu Hanifah menyampaikan bahwa bagi para pelaku liwath tersebut spesialuntuk dikenakan ta’zir. Karena dalam liwath tidak ada percampuran nasab dan tidak ada konsekuensi yang ditimbulkan dari relasi tersebut menyerupai umumnya relasi suami istri, yang sanggup mengakibatkan eksekusi mati bagi laith, sebab liwath bukanlah zina.
®
Kepustakaan:
Sahal Mahfud dan Mustofa Bisri, Ensiklopedi Ijmak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th). Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar Al-Fikr, t. th). Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr, t.th). Wahbah Zuhally, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).