Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani mempunyai nama lengkap Abu Abd al-Mukti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten.
Ada yang menyebut ulama ini dengan nama Nawawi Banten, ada pula yang menyebutnya Nawawi Tanara, alasannya dia lahir di kampung Tanara Kec. Tirtayasa Kab. Serang Banten. Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi. al-Jawi berarti orang jawa atau orang dari pulau jawa, yang mencakup Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat atau Jawa bab barat, yang menyeliputi Banten.
Ayah Syekh Nawawi al-Bantani berjulukan Umar bin Araby dan ibunya berjulukan Zubaidah. Keduannya ialah penduduk orisinil desa Tanara kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Jawa Barat. Ayahnya seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di kawasan tersebut. Secara geneologis, Muhammad Nawawi ialah keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat jalur Suniararas.
Silsilah keturunan Syaikh Muhammad Nawawi dari ayahnya ialah Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Janta, bin Kyai Mas Bugil bin Kyai Masqun bin Kyai Masnun bin Kyai Maswi bin Kyai Tajul Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatudin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Sahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Mubajir Ilalahi bin Imam Isya Al-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Khusain bin Sayyidatuna Fatimah Zahra binti Muhammad Rasulallah saw. Adapun silsilah keturunan pihak Ibunya ialah bahwa Nawawi Putra Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.
Kalau ditinjau dari geneologis, kehidupan keluarga serta riwayat pendidikannya. Muhammah Nawawi bukanlah keluarga orang awam (biasa). Ia ialah keturunan Sunan Gunung Jati yang sangat terkenal, salah satu anggota Walisanga yang terkenal di tanah jawa. Dalam masalah-masalah Agama keluarga nawawi termasuk keluarga besar yang menonjol di daerahnya. Semua anggota keluarganya ialah orang-orang yang suka menuntut ilmu khususnya ilmu-ilmu pengetahuan agama. Ini tiruana membukakan jalan seluas-luasnya bagi nawawi untuk meraih sukses dalam bidang ilmu pengetahuan.
Pada usia lima tahun, Syekh Nawawi al-Bantani berguru eksklusif dibawah asuhan Ayahandanya. Dari Ayahnyalah Syekh Nawawi al-Bantani mendapat Ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Agama ibarat Bahasa Arab, tauhid, fiqih dan tafsir. Sesudah itu barulah Muhammad Nawawidan kedua adiknya Ahmad dan Tamim berguru kepada ulama ulama lain ibarat Kyai Sahal di Bantam dan Kyai Yusuf seorang Ulama terkenal di Purwakarta.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai pengembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju ialah Jawa Timur, setelah tiga tahun di Jawa Timur, dia pindah ke salah satu pondok di kawasan Cikampek (Jawa Barat) khusus berguru bahasa.
Syaikh Muhammad Nawawi ialah seorang ulama yang haus akan ilmu pengetahuan. Sesudah berguru kepada orang tuanya sendiri dan beberapa ulama di jawa, dalam usianya yang relatif muda, 15 tahun, Muhammad Nawawi bersama kedua saudaranya Tamin dan Ahmad berangkat ke mekah untuk menunaikan ibadah haji. Syaikh Muhammad Nawawi bermukim di sana selama 3 tahun dan kembali ke Tanara dan mencoba membuatkan ilmu yang didapatnya.
Tetapi alasannya kondisi tanah air pada ketika itu masih berada di bawah jajahan Belanda dan setiap gerak gerik Ulama termasuk Syekh Nawawi al-Bantani selalu diintai oleh pemerintah Belanda dan juga kehidupan intelektual di mekkah sangat menarikdanunik hatinya, setelah kurang lebih tiga tahun tinggal di tanara (tempat kelahirannya), ia kembali ke mekkah dan tinggal di Syi’ib Ali hingga Akhir hayatnya.
Di Mekah, Syekh Nawawi al-Bantani berguru untuk pertama kali di Masjidil Haram Makkah. Di tempat ini dia berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (ketiganya dari Makkah), dan setelah itu dia berguru pada Syekh Muhammad Khotib Al-Hambali dari Madinah dan Syaikh khotib As-sambasi, Syekh Yusuf Sumbawani dari Indonesia yang bermukim di Makkah.
Pencariannya terhadap ilmu pengetahuan tidak berhenti hingga disitu, tetapi ia juga pergi ke Negara-Negara Lainnya ibarat Mesir dan Suriah. Di sana dia berguru pada Ulama-Ulama Besar ibarat Yusuf Samulaweni, Al-Nakhrawy dan Abdul Hanid Daghastani yang ketiganya dari Mesir.
Sesudah sukses belajar, Syekh Nawawi al-Bantani menjadi guru di Masjidil Haram selama 30 tahun. Diantara anak didiknya yang kemudian dikenal oleh bangsa dan umat Islam Indonesia sebagai ulama kenamaan ialah KH. Kholil Bangkalan, KH. Tubagus Muhammad Asnawi di Caenteng (Jawa Barat). KH. Hasim Asy’ari Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, KH. Asy’ari Bawean, KH. Nahjun Kampung Gunung Mauk Tangerang, KH. Asnawi Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Ilyas Kampung Teras Tanjung Kec. Karagilan Kab. Serang banten, KH. Abdul Ghoffar Kampung. Lampung Kec. Tirtayasa Kab. Serang Banten, KH. Tubagus Bakri Sempur Purwakarta. Ada juga murud-anakdidik yang terkenal dari negara lain, ibarat Dawud Perak (Kuala Lumpur Malaysia), dan Abd. al-Sattar bin Abd. al-Wahhad al-Dahlawi (Mekkah).
Di kalangan komunitas pesantren khususnya di tanah Jawi, Syekh Nawawi al-Bantani tidak spesialuntuk dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi juga dia ialah maha guru sejati (the great scholar). Syaikh Muhammad Nawawi sudah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan etis tradisi keilmuan di forum pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren
Selain mengajar, seluruh kehidupan dia banyak dicurahkan untuk menulis buku. Ada yang menyampaikan bahwa bukunya mencapai 99 dan ada pula yang menyebut bahwa dia menulis 115 buku. Inisiatif menulis banyak hadir dari desakan sebagian kolegannya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan seruan itu hadir dari teman dekatnya yang berasal dari Jawi, alasannya diharapkan untuk dibacakan kembali di kawasan asalnya. Desakan itu sanggup terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas seruan teman dekatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar ialah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang terkenal dan dianggap susah dipahami.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat pada tahun 1314 H. atau bertepatan pada tahun 1897 M. Di tempat kediamannya di kampung Syi’ib Ali Makkah, jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la Mekkah, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Syekh Nawawi al-Bantani wafat pada ketika sedang menyusun buku yang menguraikan Minhaj ath-Thalibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah Hujam an-Nawawi.
®
Kepustakaan:
Kafabihi Mahrus, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, (Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon, 2007). Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah, (Banten: Pustaka Irvan, 2007). Yasin, Melacak Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007).