Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendapat Ulama Madzhab Ihwal Rukun Gadai

Rukun gadai berdasarkan Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia menyampaikan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan ialah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi pinjaman. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya mabadunga tindakan tersebut untuk melunasi pertolongan dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan alasannya ialah ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang didiberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jikalau seseorang mendapatkan gadai alasannya ialah harta yang dipinjamankan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya alasannya ialah pinjaman, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang populer ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafi’iyah beropini bahwa transaksi gadai itu sanggup sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, alasannya ialah pertolongan tidak sanggup digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, ibarat mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi akseptor gadai dihentikan membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpertama pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan sanggup dijual mabadunga pelunasan pertolongan itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, ibarat flora tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka berdasarkan Malik boleh dijual untuk melunasi pertolongan yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipguan, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jikalau masa pertolongan sudah jatuh tempo, maka buah tersebut sanggup dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar ialah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum terang nilainya ibarat dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha setuju bahwa di antara syarat gadai ialah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan akseptor gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila akseptor gadai mendapatkan barang tersebut dengan cara merampas, lalu orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia mendapatkan barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka berdasarkan Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jikalau orang yang dirampas mendapatkan kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat wacana penggadaian bab barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi berdasarkan Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu sanggup dilakukan untuk tiruana barang yang berharga dan sanggup diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak sanggup menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun berdasarkan Malik, lebih enteng dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri beropini bahwa janji gadai spesialuntuk berlaku pada barang pesanan. Demikian itu alasannya ialah ayat yang berkenaan dengan gadai itu mengambarkan posisi utang piutang barang dagangan, dan berdasarkan mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam pinjaman, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, ibarat al-Ma’mumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pertolongan yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pertolongan yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa setelah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai sanggup diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam relasi ini berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu mempunyai tiga syarat. Pertama, berupa pertolongan alasannya ialah barang pinjamanan itu tidak sanggup digadaikan. Kedua, menjadi tetap, alasannya ialah sebelum tetap tidak sanggup digadaikan, ibarat jikalau seseorang mendapatkan gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak ibarat gadai dalam kitabah. Pendapat ini ibarat dengan madzab Maliki.
®
Kepustakaan:
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990).