Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makna Teks Berdasarkan Debu Zayd

Dalam mengulas duduk masalah makna teks, Abu Zayd membuka kembali diskusi-linguistik klasik ihwal kata dan makna (al-Lafzh wa al-Ma'na) atau nama dan yang dinamai (al-Ism wa al-Musamma), di mana hubungan antara keduanya bersifat subbyektif substansial dan niscaya. Hal ini mengimplikasikan kesatuan antara kata dengan makna, atau nama dengan yang dinamai.
Menurut Abu Zayd, hubungan antara kata dan makna ialah menyerupai hubungan antara jasad dan ruh. Kata bagi makna ialah jasad dan makna bagi kata ialah ruh. Muktazilah secara umum beropini bahwa hubungan antara keduanya ialah hubungan analogis, konvensional atau janji dan terminologis. Kata spesialuntuklah bunyi dengar atau simbol tulisan, yang mana dia tidaklah bermakna apabila tidak ada makna konvensional. Hal ini ditunjukkan bahwa bunyi indera pendengaran atau simbol goresan pena sanggup tidak sama-beda pula, tetapi menunjuk kepada makna yang sama.
Abu Zayd tidak memakai istilah kata dan makna tetapi penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda bahasa tidak merujuk pada sesuatu tetapi sebuah dampak psikologis yang ditinggalkan bunyi yang didengar atau simblol yang ditulis. Konsep makna signifikansi Abu Zayd memang diderivikasikan dari argumen Hirsch. Makna ialah makna yang dipresentasikan oleh teks dan signifikansi ialah apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca.
melaluiataubersamaini pemahaman makna menyerupai ini, ada dua aspek yang perlu menjadi titik tolak yaitu konstruksi teks itu sendiri dan budaya di sisi lain. Maka aspek historisitas teks menjadi titik sentral untuk diperhatikan. Mencabut teks dari historisitasnya berarti mengabaikan historisitas makna saat teks itu turun, bahasa dan budaya yang melingkupinya. Kalau kita konsisten pada logika ini, maka kehadiran al-Quran pun harus dipahami sebagai teks illahiyah sekaligus berdimensi historis. Hilangnya pemahaman historisitas ini akan mengundang ancaman besar saat dia dalam melaksanakan interpretasi dihadapkan pada budaya, sejarah, yang sangat tidak sama dengan konteks bahasa, budaya, dan sejarah al-Quran.
Sementara itu dalam tataran interpretasi, digolongkan menjadi 3 level konteks. Pertama, konteks runut pewahyuan, yakni konteks historis kronologis pewahyuan yang berubah alasannya adanya perubahan. Urutan bacaan surat-surat dan ayat-ayat dalam mushaf al-Qur’an. Kedua, konteks pretensi atau narasi, (perintah, larangan, dongeng dll). Ketiga, susunan linguistik yang lebih kompleks dari sekadar gramatikal (pemisahan, pengaitan antara ayat, penghapusan, pengulangan dll).
®
Kepustakaan:
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003). Nasr Hamid Abu Zayd, An-Nash, As-Shulthoh, Al-Haqiqoh. terjm: Teks Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta: LkiS, 2003).