Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendekatan Historis Dalam Ushul Fikih

Pendekatan historis atau pendekatan sejarah sudah menempel dan terintegrasikan dalam Islam. Hal tersebut disebabkan Pertama, kewajiban bagi setiap muslim untuk meneladani Rasul, lantaran ia ialah suri contoh dan uswah hasanah yang harus diikuti perilakunya oleh seluruh umat Islam.
Secara implementatif pendekatan historis (historical approach) dipakai oleh beberapa ulama dan pemikir muslim untuk mengkaji Ilmu Ushul Fikih, Para orientalis menyerupai S. Margaliouth, Joseph Schacht, Goldzhier, N.J. Coulson, H.R. Gibb dan Henry Lammen yaitu diantara para orientalis yang memakai metode ini untuk mendekati sumber-sumber aturan Islam. melaluiataubersamaini metode ini mereka mencoba mengurai dan menunjukan proses terciptanya sumber-sumber Islam ini secara detail dan kritis.
Pendekatan historis dalam ushul fikih sudah dipakai oleh Ibnu Khaldun dalam mendekati kasus kefikhian. Ibnu Khaldun memahami bahwa konteks ashabiyah (fanatisme kesukuan) bangsa Quraisy harus difahami tatkala memaknai Hadis ini. Sebelum Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd pernah menyatakan bahwa kalau Ilmu Ushul Fikih ialah Ilmu pengambilan dalil maka Allah mewajibkan kepada insan untuk mengamati dan diberistidlal.
Dalam konteks ajaran Islam modern pendekatan historis dalam memahami Ilmu Usul Fikih dipakai oleh Fazlur Rahman. Ia secara sistematis dan konseptual sangat menekankan pentingnya pendekatan historis dalam Ushul Fikih. Konsepnya wacana evolusi sunnah dan adanya proses sejarah dalam kekerabatan Sunnah-Ijtihad dan Ijma’ menjadi frame work ajaran Rahman.
Secara konsepsional pendekatan historis, sanggup ditelusuri dari beberapa istilah dan sanggup disandarkan pada beberapa konsep yang ada dalam Ushul Fikih, konsep itu yaitu :
Asbab al-Nuzul dan asbab al-Wurud, Konsep ini dirumuskan oleh generasi muslim pertama dan sanggup dijadikan sebagai genealogi pendekatan sejarah untuk memahami nash-nash syar’i. Dalam konteks ini al-Zarkasy, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syahrur, menyampaikan bahwa Imam Ali pernah menyebut asbab nuzul dengan sebutan munasabat al-Nuzul (hal-hal yang terkait dengan penurunan wahyu ayat-ayat alqur’an) bukan dengan istilah asbab nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu)
Nasikh dan Mansukh. Naskh yaitu penghapusan aturan baik yang menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjuk aturan dari batasan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Quran), atau membiarkan teks tetap ada sebagai petunjuk adanya aturan yang dimansukh. Nasikh dan mansukh bekerjsama ialah indikasi adanya dialektika antara wahyu dan realitas.
Makky-Madany. Makky yaitu ayat atau surat yang diturunkan sebelum hijrah dan Madany yaitu yang diturunkan sesudahnya, baik turun di masa penaklukan Makkah, atau haji wada atau dalam suatu perjalanan. Makky dan madany ialah dua fase penting yang mempersembahkan andil dalam pembentukan teks, baik pada dataran isi maupun struktur teks. Jika Makky-Madany pada asasnya menyingkap gejala-gejala umum dari interaksi nash dan realitas maka asbab al-Nuzul bermaksud menyingkap secara terinci interaksi tersebut dan memdiberi isu terkena fase-fase pembentukan teks dalam realitas dan kebudayaan secara lebih cermat.
Urf atau Adah. Secara bahasa ada perbedaan makna antara Urf dan Adah, secara literal kata Adah berarti kebiasaan, sopan santun atau praktek, sementara kata Urf yaitu sesuatu yang diketahui. Beberapa ahli, menyerupai Abu Syinnah dan Muhammad Mushtafa Syalaby, memakai definisi lughawi ini untuk membedakan kedua arti kata tersebut, yang pada pada dasarnya menyampaikan bahwa Urf menyampaikan kebiasaan oleh individual maupun jama’ah sedangkan Adah menyampaikan kebiasaan sekelompok kecil orang saja.
Sesungguhnya secara teoritis Urf atau Adah tidak diakui sebagai sumber jurisprudensi Islam, namun dalam prakteknya Adah dan Urf memegang tugas penting dalam proses kreasi aturan Islam dalam banyak sekali aspek aturan di negeri-negeri Islam. Sehingga walaupun demikian para jago aturan Islam pada balasannya memahami banyak sekali macam bentuk pranata sopan santun dan memasukkan aturan sopan santun dalam bangunan aturan Islam.
Secara historis terminologi Urf diperkenalkan oleh Imam Maliki. Pada waktu itu ia memakai Amal Ahl al-Madinah sebagai salah satu sumber penetapan hukum. Dalam proses selanjutnya Imam Syafi’i secara praksis juga memakai konsep ini, walaupun secara teoritis tidak mengakuinya. Perubahan ijtihad aturan antara waktu Syafi’i di Baghdad dan di Mesir yaitu bukti dari hal ini. Selajutnya Imam Hanafi secara substansial juga memahami akan pentingnya Urf sebagai salah satu unsur penetapan aturan Islam.
Syar’u Man Qablana. Secara bahasa berarti syariat orang-orang sebelum kita. Dalam perspektif Ushul Fikih istilah ini dimaknai sebagai syariat-syariat yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul sebelum hadir syariat Muhammad atau syariat Islam.
Apapun relasinya dengan syariat islam, para ulama setuju bahwa ia tidak dianggap sebagai syariat islam selama berdiri sendiri kecuali disandarkan pada Sunnah atau Kitab. Ini mengindikasikan bahwa syar’u man qab lana menjadi sebuah pertimbangan yang sangat mendasar dalam melaksanakan proses penetapan aturan dalam Ilmu Ushul Fikih.
Kelima konsep Ushul Fikih ini mengisyratkan bahwa historis atau sejarah menjadi salah satu faktor yang sangat mendasar dalam menetapkan aturan Islam. melaluiataubersamaini banyak sekali entitas, problematika dan dimensi yang mengitari masing-masing konsep Ushul Fikih yang dibangun oleh para Ushuliyyun ini, secara makro memdiberi indikasi bahwa perhatian wacana pendekatan sejarah cukup besar dan menjadi tema yang sangat penting dalam konsepsi Uhsul Fikih.
®
Kepustakaan:
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajpertamai Press1997). Muhammad Zarkasyi al-Burdisyi, Ushul Fikih, (Mekkah: al-Makatabah al-Fashilah, 1987). Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998). Ali Ja’far Muhammad bin Jarir al Thabari, Tarikh al-Thabary: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1991). Ricahard C. Martin, (Ed), Beberapa Pendekatan Dalam Kajian Islam, dalam Sufyanto dan Imam Musbikin (Eds), dalam Cita-Cita Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Nashr Abu Zaid, Mafhum al-Nash, Dirasah Fi Ulum al-Qur’an, Terj Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas al Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta, LKIS, 2002). Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyyah: Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islamy, Terj Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, Metodologi Fikih Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Elsaq Press, 2004).