Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prinsip Dalam Hermeneutika Hadis

Dalam hermeneutika hadis, terdapat tujuh prinsip yang sangat penting untuk diperhatikan. Artinya, untuk sanggup menangkap makna teks-teks hadis yang relevan dengan konteks historis kekinian sehingga lebih bermakna dan fungsional untuk menjawaban problem-problem hokum dan kemasyarakatan masa kini, prinsip-prinsip itu ialah niscaya. Prinsip-prinsip tersebut ialah sebagai diberikut:
Pertama, prinsip Konfirmatif, dalam penafsiran hadis, seorang penafsir harus selalu mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Quran sebagai sumber tertinggi ajaran. Hal ini penting mengingat hadis berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi al-Quran. Nurcholish Madjid bahkan secara “ekstrim” menegaskan bahwa sunnah Nabi, khususnya segi yang dinamik dan fundamental sanggup lebih banyak diketahui dari kitab suci al-Quran dari pada kumpulan kitab hadis. Pengkajian terhadap firman-firman Allah itu akan memdiberi citra yang utuh wacana siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepakterjang dia dalam hidup dia baik sebagai langsung maupun sebagai utusan Illahi.
Kedua, prinsip tematis-komprehensif. Teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang bangun sendiri-sendiri, melainkan sebagai kesatuan yang integral, untuk itu, dalam penafsiran suatu hadis, seorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang mempunyai tema yang relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
Ketiga, prinsip linguistik. Hadis Nabi ialah teks yang terlahir dalam sebuah wacana kultural dan bahasa Arab. Oleh sebab itu dalam penafsiran hadis, seorang harus memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab.
Keempat, prinsip historik. Prinsip ini menghendaki dilakukannya pemahaman terhadap latar situasional masa lampau dimana hadis terlahir baik menyangkut latar sosiologis masyarakat arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini ialah kapasitas dan fungsi Nabi dikala melahirkan hadis yang bersangkutan.
Kelima, prinsip realistik. Artinya bahwa, selain memahami latar situasional masa kemudian dimana hadis muncul, seorang juga memahami latar situasional kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin, menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan mereka. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap hadis tidak bisa dimulai dari kevakuman, tetapi harus dari realitas yang kongkrit.
Keenam prinsip distingsi etis dan legis. Hadis-hadis Nabi tidak bisa spesialuntuk dipahami sebagai kumpulan aturan (compendium of law) belaka, tetapi lebih dari itu, ia mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam. Oleh kesannya seorang penafsir harus bisa menangkap dengan terang nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadis dari nilai-nilai legisnya. Hal ini sangat penting mengingat kegagalan dalam menagkap makna etis dari makna legis hadis akan berakibat pada kegagalan menangkap makna hakiki dari hadis itu.
Ketujuh, prinsip distingsi instrumental dan intensional. Hadis pada hakekatnya mempunyai dua dimensi, yakni dimensi instrumental (wasilah) yang bersifat temporal dan particular di satu sisi dan dimensi intensional (ghayah) yang bersifat permguan dan universal di sisi lain. Pada titik ini, seorang penafsir harus bisa membedakan antara cara yang ditempuh Nabi dalam menuntaskan problematika aturan dam kemasyarakatan pada masanya dan tujuan asasi yang hendak diwujudkan Nabi dikala memunculkan hadisnya itu.
®
Kepustakaan:
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qolam, 2003). Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2009).