Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Dan Sejarah Mihnah

Secara bahasa kata Mihnah mempunyai arti cobaan, ujian atau bala. Sedangkan secara istilah mihnah ialah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, mahir hadis dan aturan sehubungan dengan permasalahan penciptaan al-Quran, Di antaranya ialah Ahmad bin Hambal (W. 855/ 240 LI), alasannya keteguhannya mempertahankan pendapat bahwa al-Quran ialah qadim (tidak diciptakan).
Adapun insiden mihnah terjadi pada masa khalifah Abbasiyah yaitu khalifah al-Ma'mun (170 H/ 785 M-218 HI 833 M). Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Makmun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-Watsiq (W 232 H).
Peristiwa mihnah yang terjadi pada masa khalifah al-Makmun itu alasannya perbedaan pendapat sehubungan dengan paham khalq al-Qur’an. Muktazilah beropini bahwa al-Quran ialah gres alasannya kalam Allah swt yang tersusun clari bunyi dan huruf-huruf. Al-Quran itu makluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti is sesuatu yang barn, jadi tidak qadim. Jika al-Quran itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.
Khalifah al-Makmun menginstruksikan biar dilaksanakan pengujian terhadap pegawanegeri pemerintahan wacana keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma'mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Quran ialah qadim tidak sanggup digunakan untuk menempati posisi penting di dalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadi.
Para ulama Ahlus Sunnah wal-Jamaah termasuk imam Ahmad bin Hambal setuju menyampaikan bahwa al-Quran ialah kalam Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru, yang kuasa bersama sifat-Nya ialah qadim, yang tidak berpermulaan ada-Nya. Kalam Allah yang qadim itu diperdengarkan kepada Malaikat Jibril dan dijadikan bersuara dan berhuruf, Malaikat Jibril membawakan kepada Nabi Muhammad saw sebagai wahyu Tuhan. Bacaan al-Quran ialah barn, huruf-huruf al-Quran yang diucapkan oleh pembacanya ialah gres alasannya is ialah sifat Bari pembacanya, atau salah satu dari majemuk perbuatannya, sedangkan perbuatannya itu tidak diragukan ialah baru.
Mereka menyampaikan al-Quran sanggup dillihat dari dua segi. Pertama, dari segi sumbernya, yaitu Allah yang bersifat Kalam dan al-Quran ialah Kalam Allah. Kedua dari segi huruf-hurufnya dan kalimat-kalimat yang tercliri dari huruf-huruf itu, yaitu makna-makna yang ditunnjukkan oleh kalimat-kalimat berdasarkan Muktazilah dan yang dipahami dari situ. Dua segi pandangan inilah yang menjadi cumber terjadinya insiden mihnah tersebut.
Muktazilah menafikan sifat al-Kalam dari Allah alasannya berdasarkan mereka sifat itu termasuk sifat yag barn. Apa yang dihubungkan kepada-Nya, yaitu bahwa Dia berkata-kata, ialah alasannya Dia yang menciptaakan kata-kata itu pada suatu tempat. Jadi, Allah berkata-kata kepada Musa ialah dengan membuat kata-kata di pohon tertentu. Sedangkan para fuqaha dan muhadditsin menetapkan sifat al-kalam kepada Allah. Atas dasar itu, berdasarkan mereka, al-Quran ialah kalam Allah, dan alasannya itu al-Quran bukan rtikhluk sebagaimana makhluk-makhluk yang lain. Demikianlah pandangan kedua belah pihak yang masing masing berpertama dari sudut pandang yang tidak sama.
Ketika naik tahta, al-Makmun didekati oleh kalangan Muktazilah dan secara terperinci terangan menyatakan dirinya menganut paham Muktazilah. Ia mengagungkan Muktazilah secara berlebihan, Muktazilah menyadari kedudukan mereka dalam pandangan al-Makmun, khususnya dikala ia menentukan Ahmmad ibn Abi Dawud menjadi mitra bersahabat dan keluarganya. melaluiataubersamaini adanya kekerabatan antara al-Makmun dan Muktazilah dalam bidang ajaran dan kekeluargaan, kemudian Muktazilah memakai peluang tersebut untuk menyebarluaskan pendapat bahwa al- Qur'an ialah makhluk. Al-Makmun mengumumkannya pada tahun 212 H. Walaupun demikian ia masih mempersembahkan kemerdekaan kepada rakyatnya dalam beraqidah dan berpendapat, dan tidak memaksa mereka untuk menganut pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat mereka.
®
Kepustakaan:
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, (Pustaka Progresif, Surabaya, 2002). IMN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Djambatan, Jakarta,1992). Al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal, (Bina Ilmu, Surabaya 2006). Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Ichtiar Baru Van Hoene. Jakarta, 1993). Sirajuddin Abbas, Etiqad Ahlussunnah wal-Jamaah, (Pustaka Tarbiyyah, Jakarta, 1984). Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Terjemahan Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Logos Pulishing house, Jakarta, 1996).