Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Double Movement Dalam Ushul Fikih

Ada dua istilah metodik yang sering disebutkan dalam buku-buku Fazlur Rahman, yakni historico-critical method (metode Koreksi sejarah) dan hermeunetic method (metode hermeunetik). Kedua istilah tersebut ialah kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam pemikirannya.
Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam, dalam hal ini al-Quran, Rahman memakai teori double movement (gerak ganda). Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam al-Quran yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Dua unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada pada bagaimana cara mendialogkan antara dua sisi tersebut semoga nilai-nilai kewahyuan sanggup selalu sejalan dengan sejarah umat manusia.
Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya pemahaman makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini sanggup diambil pemahaman yang utuh wacana konteks normatif dan historisnya suatu ayat, maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan sopan santun ilham (normative universal).
Kemudian gerak kedua yang dilakukan yaitu upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan.
Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fikih usang yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu menolong yang bersifat kealaman maupun humaniora semoga para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
Sangat terperinci bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha menghindarkan pemahaman intelektual dari iktikad dan batas-batas dimensi kultural yang membelenggu.
misal sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal poligami. Fazlur Rahman sudah mempersembahkan klarifikasi wacana poligami yang oleh para fuqoha’ dianggap sebagai asas perkawinan yang sah berdasarkan Islam. al-Quran surat An-Nisa: 3 mengatakan:
…dan jikalau engkau takut tidak akan sanggup Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana engkau men gawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang engkau senangi; dua, tiga atau empat. kemudian jikalau engkau takut tidak akan sanggup Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang engkau miliki. yang demikian itu yaitu lebih erat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam al-Quran Surah Ali Imron, al-Quran mengutuk para wali dari bawah umur yatim pria dan perempuan, sebab menyelewengkan harta kekayaan mereka, padahal ayat ini diturunkan di Mekkah (QS. al-Anam: 152 dan al-Isra: 34) dan kemudian lebih ditekankan di Madinah (QS. al-Baqarah: 220 dan QS.an-Nisa: 2, 6, 10, dan 127). Lalu al-Quran menyatakan semoga tidak menyelewengkan harta nak-anak perempuan yatim, para wali tersebut boleh mengawini hingga empat orang di antara mereka (para wali) sanggup berbuat adil. Kebenaran penafsiran ini berdasarkan Fazlur Rahman, di dukung oleh surat an-Nisa: 127, yang mungkin di turunkan lebih doloe dari pada al-Quran Surat an-Nisa: 3
Al-Quran surat an-Nisa: 127 menyatakan bahwa:
Dan mereka minta pemikiran kepadamu wacana Para wanita. Katakanlah: Allah memdiberi pemikiran kepadamu wacana mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Alquran (juga memfatwakan) wacana Para perempuan yatim yang engkau tidak mempersembahkan kepada mereka apa yang diputuskan untuk mereka, sedang engkau ingin mengawini mereka dan wacana bawah umur yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh engkau) supaya engkau men gurus bawah umur yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang engkau kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah yaitu Maha Mengetahuinya.
Keterangan ini menunjukkan bahwa problem ini timbul dalam konteks perempuan-perempuan yatim, tetapi al-Quran juga menyatakan: “Betapapun engkau menginginkannya, namun engkau tidak sanggup berlaku adil terhadap perempuan-perempuan tersebut.” (QS. an-Nisa: 129).
Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku wacana status perempuan pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab dikala itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum perempuan sangatlah rendah, sehingga masuk akal saja dikala suara teks al-Quran menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. melaluiataubersamaini mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu wacana persamaan kedudukan antara pria dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman, yaitu sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap ibarat masyarakat Arab kurun ke-7 M, atau masyarakat kurun pertengahan pada umumnya, beliau berpandangan bahwa anggapan lebih banyak didominasi ulama wacana monopoli kaum pria atas perkawinan sama sekali tidak dicuatkan dari al-Quran.
Dari sudut pandang agama yang normatif, keadilan terhadap istri yang mempunyai posisi lemah tersebut, spesialuntuk bergantung kepada kebaikan suami, walaupun niscaya akan dilanggar. Sebaliknya, para moderenis muslim cenderung untuk mengutamakn keharusan untuk berbuat adil dan pernyataan al-Quran bahwa perlakuan adil yaitu tidak mungkin untuk menunjukkan bahwa ijin untuk berpoligami itu spesialuntuk untuk sementara waktu dan tujuan-tujuan tertentu saja.
®
Kepustakaan:
Ghufran A Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajpertamai Press, 1997). Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Qur’an, (Chicago; Biblioteca Islamica, 1980).