Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tingkatan Murka Berdasarkan Al-Ghazali

Syaikh Mahfuzh sudah merangkum hakikat murka dengan cara yang praktis dan praktis difahami dengan menukil riwayat dari Imam al-Ghazali, ia (al-Ghazali) menyampaikan bahwa: amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
Pertama: tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk suatu budi yang fundamental sebagai konsekuensi dari sopan santun makhluk dan memenuhi hukum masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya mengakibatkan, adanya pembelaan yang besar lengan berkuasa akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum. Seandainya bukan lantaran hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan.
Siapa yang tidak murka lantaran agamanya, maka sesungguhnya tujuannya yaitu taqlid yang begitu besar lengan berkuasa pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, kemudian ia pun akan berpindah dari satu agama ke agama lain disebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak murka demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga insan akan menjadi menyerupai binatang yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan hal itu.
Kedua: murka yang dalam posisi tengah, yaitu murka demi harta. Hal ini yaitu suatu keburukan dan tragedi dalam waktu bersahabat maupun waktu yang akan hadir. Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang dizhalimi maka sesungguhnya ia sudah menyimpang dari tabi'at yang Allah swt sudah membuat insan di atasnya.
Ketiga: tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran, nalar dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang jadinya akan menimbulkan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada jadinya ia melaksanakan dosa besar dan menyebarnya banyak sekali kehancuran.
Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi menyerupai itu yaitu tercela, baik secara nalar maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan terhadapnya sesuai dengan perbedaan besar lengan berkuasa atau lemahnya akhir yang ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih besar lengan berkuasa dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi.
Menurut Hasan Asy’ari Ulama'i beberapa penafsiran di atas bahu-membahu sudah dirangkum oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Nukat wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi bahwa intinya al-maghdlub (orang-orang yang dimurkai) Allah tersebut yaitu mereka yang pada prinsipnya melanggar perintah Allah, sementara istilah ghadlab (murka) ini, al-Mawardi mengemukakan empat pendapat antara lain:
  1. Murka sebagaimana murka yang dipahami umumnya manusia.
  2. Murka dalam arti siksaan dunia.
  3. Murka dalam arti celaan terhadap mereka.
  4. Murka sebagai salah satu bentuk adzab Allah kelak.
®
Kepustakaan:
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006). A. Hasan Asy’ari Ulama'i, Normativitas & Historisitas Hadis Sebuah Telaah Tafsir Nabi Saw. Terhadap Kosakata Al-Qur'an, (Bima Sejati Bekerjasama dengan IAIN Walisongo Press Semarang, Semarang, 2002). Imam al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, (Dar al-Fikr, Beirut, 1989).