Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dasar Filsafat Insan Jawa

Filsafat insan Jawa secara mitos tertuang dalam huruf Jawa ha na ca ra ka, yang memiliki arti:
Ha: Hurip, Urip = Hidup. Suatu sifat Zat Yang Maha Esa
Na: (1) Hana = Ada
Teknikka: (1) Utusan
Berdasarkan hal itu gotong royong manusia Jawa memiliki banyak sekali macam fatwa filsafat, dari rasionalisme (nalar), eksistensialisme (pengada), dan intuisiisme (rasa dan karsa). Ini nampaknya sesuai dengan realitas sejarah (fitrah). Manusia secara fitrah tidak mau untuk dijajah, alasannya ialah insan itu berdasarkan Sarte rasion de etre-nya ialah kebebasan dan selalu memiliki niat untuk mengkoloni sesamanya.
Manusia secara alami ialah masyarakat yang suka kekerasan dan dengan kerasan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti biar praktis untuk dikuasai. Manusia secara fitrah memiliki kepercayaan terhadap yang ghaib. Apakah itu berupa kepercayaan terhadap yang Esa doloe atau yang dari Atheisme ataupun dari Polytheisme.
Kepercayaan, dalam dunia Jawa bermula dari Polytheisme [Animisme (Taylor) ataupun Dinamisme (Frazer)], dan mengalami peng-Esa-an secara gotong royong dikala Islam melebarkan ekspansinya dari Cina. Rasionalisme–Jawa, tampaknya sangat dipengaruhi oleh intuisiisme. Hal ini ditengarai dikala insan Jawa itu berpikir wacana tindakan yang diambil terhadap sesama yang dianggap melanggar etika, alasannya ialah biasanya insan Jawa akan selalu memakai pitung.
Manusia Jawa itu selalu memakai rasanya dikala masyarakat Jawa akan melaksanakan sesuatu. Tindakan itu spesialuntuk diambil berdasarkan rasionalisme murni maka akan merusak ketentraman batin alasannya ialah memang tidak sesuai dengan rasanya. Hal ini dikarenakan orang Jawa itu cukup besar hati dengan nilai-nilai tradisionalnya (aslinya) tidak suka dengan adanya nilai-nilai gres yang dianggap akan merusak keharmonisan masyarakat.
Tiga fatwa filsafat yang berkembang dalam tradisi Jawa itu dalam beberapa hal terwadahi dalam lakon wayang. Hal ini sanggup dimengerti alasannya ialah biasanya lakon wayang yang dipentaskan ialah sebuah hasil renungan sebuah karya para mahir filsafat. Epos Mahabarata dan Ramayana ialah dua epos yang dihasilkan oleh filosof Jawa pertama, walaupun epos tersebut ialah saduran dari India namun dalam edisi Jawa ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang dimunculkan.
Beberapa karakter ada penjungkirbalikan secara kontras tokoh Dorna, misalnya, dalam kisah yang orisinil ialah tokoh yang baik terhadap dua bersaudara Kurawa dan Pandawa namun dalam edisi Jawa menjadi seorang guru yang jahat. Apalagi jikalau hal ini dikaitkan dengan perintahnya kepada Bima (Werkudara)—dalam lokon Dewa Ruci—ketika Bima berniat untuk mengambil air suci (tirtamarta) yang kemudian didiberikan arah yang menyesatkan mulai dari hutan yang populer dengan jalmo moro jalmo mati, dan bertemu dengan dua raksasa yang ialah jelmaan dari yang kuasa yang dikutuk oleh yang kuasa Wisnu; kemudian ke dasar maritim yang ternyata di dasar maritim terdapat ular naga. Akhirnya air suci itu adanya di dalam keheningan sepi dalam dirinya Werkudara itu sendiri.
Ilustrasi: indonesiakaya.com
Hal ini sangat mencerminkan filsafat pantheisme dalam alur filsafat Jawa. Dunia pewayangan dalam banyak sekali lakon juga mencerminkan filsafat hidup orang Jawa. Sumantri Ngenger, misalnya, yang menceritakan loyalitas dan balas kecerdikan dalam kehidupan sosial ialah suatu hal yang sangat diwajibkan dalam tradisi Jawa.
Dunia tingkah laris orang Jawa, sebagaimana dalam filsafat wayang, juga sangat tergoda oleh filsafat kehidupannya, yaitu : dunia wayang. Wayang sebetulnya ialah lakon hidup insan yang sedang di beberkan oleh sang dalang lewat lakon-lakon yang diambil dari epos Ramayana khususnya Mahabarata,
Pandangan kosmis, program ritual magis ini juga tergantung akan keislaman orang Jawa. Apakah mereka santri atau abangan. Santri akan cenderung untuk melaksanakan upacara slametan yang sesuai dengan syariat sedangakan abangan biasanya akan mencari waktu yang sempurna untuk melaksanakan upacara upacara slametan tersebut.
Orang Jawa dalam keseharian yang dikenal dengan budaya santun dan alim. Budaya Jawa yang dipadukan antara budaya Hindu-Budha, Islam dan Jawa sendiri dalam proses internalisasinya kemudian Jawa menjadi semacam lukisan yang sangat naturalisik. Kosmos Jawa di dalamnya hidup banyak sekali etnis yang saling harmoni tidak ada konflik dan tidak mengenal akan persaingan. Ini sanggup dilihat dalam dunia hiburan misalnya, boleh dikatakan hiburan yang ditelevisi ialah mencerminkan kehidupan (baca=budaya) Jawa.
Bahasa Orang Jawa sebagai bab dari bahasa Indonesia, ialah ialah bahasa yang tertua di Indonesia dan ialah perpaduan bahasa dari dua negara, bahasa Thai dan Bahasa India, Sansekerta, yang kemudian digabungkan oleh Aji Saka, tokoh mitos yang kemudia memunculkan istilah Nusa Jawa dari rumput sejenis Jewawut. Penggabungan kedua bahasa itu menghasilkan Aksara Jawa.
Bahasa Jawa dalam perkembangannya kemudian memunculkan pengelompokan yang dipakai sesuai dengan derajat sosial seseorang yang pada alhasil sistim ini memunculkan feodalisme dan stratifikasi kelas. Hal ini disadari atau tidak alasannya ialah masih sangat dekat kaitannya dengan agama-agama sebelumnya, khususnya Hindu-Budha, yang mengajarkan sistim kasta, dan berlaku secara rigid dan saklek. Bahasa Jawa ini juga dibarengai dengan seperangkat adat dikala akan menggunakannya. Bahasa Jawa yang tersrukturalkan dalam sistim kasta.
Etika Orang Jawa, sebagai adat yang cukup tua, alasannya ialah ialah seperangkat nilai yang kemudian turut serta melahirkan ideologi bangsa ini, baik ideologi politik maupun ideologi pendidikan/budaya. Ideologi politik, tentu rakyat Indonesia sebagai bangsa masih ingat akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mang Rawa” dan juga semboyan pendidikan kita dari Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuru Handayani”.
Kepustakaan
Eric Fromm, Akar Kekerasan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Drijakara NJ, SJ, Percikan Filsafat, (Jembatan, Jakarta, 1984). H.J.De Graff dkk, Cina Muslim, (Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996). Paul Stange, Politik Perhatian, (LkiS, Yogyakarta,1999).