Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Guru: Sekelumit Dongeng Wacana Guru

INIRUMAHPINTAR - INI - Cerita Guru: Sekelumit Cerita wacana Guru - Salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam dunia pendidikan ialah kualitas kinerja pengajar. Apapun namanya: guru, dosen, guru besar, tutor, tentor, trainer, dsb, mereka dituntut tidak spesialuntuk menguasai bidang ilmu yang diajarkan tetapi juga dibutuhkan bisa mempersembahkan pelayanan pendidikan yang baik dan contoh dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Anehnya, kehadiran mereka dalam kelas terkadang belum mencapai predikat pantas menjadi “guru”. Kenapa demikian? Anak didik tampak spesialuntuk sekedar mendengarkan klarifikasi atas materi pelajaran yang didiberikan. Itupun kebanyakan spesialuntuk diperhatikan oleh anak didik yang “cerdas” dan berpredikat “rajin”. Atau alasannya alasan penghormatan kepada guru dengan sedikit keterpaksaan dalam hati.

Nah, Bagaimana dengan mereka yang “kurang cerdas” dan “malas” dengan banyak sekali faktor yang menyebabkannya? Akankah kita menyalahkan mereka? Tidak, Tugas guru “era modern” seharusnya tidak lagi bermodalkan gaya mengajar zaman dulu, mempersembahkan materi dengan gaya monoton dan “menakutkan”, menghukum anak didik yang tidak memperhatikan, dsb.

Untuk masa dulu, anak didik sangat haus dengan pendidikan, mempunyai rasa hormat kepada guru, motivasi tinggi, dan belum adanya alternatif sumber pengetahuan. Maka, dengan segala keterbatasan alat tulis menulis yang dimiliki, mereka bisa menjadi pelajar yang jago dengan kondisi guru yang menyerupai itu. Namun demikian, faktanya, inilah yang terjadi, penerapan metode mengajar gaya tempo “doeloe” untuk anak didik “modern” oleh guru-guru modern menjadi budaya yang masih susah berevolusi. Padahal, andai ada sedikit kesadaran bahwa kini, dunia sudah tidak sama, perkembangan anak didik pun sangat cepat berubah, dan guru seharusnya pun harus berubah dan menyesuaikan diri.
sumber: https://pixabay.com/en/class-classroom-teacher-burma-1459570/

Dalam pengajaran modern, tugas yang sangat vital tetapi spesialuntuk dimiliki oleh guru-guru tertentu ialah kemampuan sebagai motivator. Peran ini dibutuhkan ketika anak didik merasa malas, kurang agresif dalam belajar, atau mempunyai kesusahan dalam mata pelajaran tertentu. Namun demikian, sadarkah kita, seberapa besar keinginan guru masa sekarang yang mau tahu kesusahan anak didiknya dan ingin ikut mengatasinya? Seberapa besar keinginan guru masa sekarang yang mau tahu apa belum sempurnanyanya dalam mengajar menurut refleksi dari anak didiknya? Malah tidak sedikit dari mereka yang hirau tak hirau dengan hal ini.

Singkat cerita, mereka digolongkan guru berpredikat “sok pintar” dan “tak mau mengalah” dengan pengertian, mereka menganggap diri merekalah yang terpintar dan tidak mau mengakui kalau suatu waktu mereka salah. Tidakkah mereka paham bahwa ketika ini, dunia warta dan pengetahuan bukan spesialuntuk bersumber dari guru saja, bisa saja dari internet, buku-buku, dan pengalaman dari anak didik. Jadi, jikalau ada diantara mereka yang lebih tahu wacana suatu materi dalam kelas, seorang guru seharusnya bijaksana dan bersikap elegan dengan mengakui kebenaran, tidak malah berbalik egois dan terkesan keras kepala. Ini tidak spesialuntuk mengurangi motivasi anak didik dalam mengikuti pelajarannya, tetapi mempengaruhi tingkat penghormatan kepada guru-guru yang bersangkutan. Jika ini berlanjut, coba tebak! Apa yang akan terjadi dengan pendidikan kita?

Selain itu, menjadi seorang guru tidak seharusnya dilatarbelakangi alasannya faktor finansial dan komitmen penghasilan yang cukup tinggi. Guru harus menghadirkan dirinya, lahir dan batin untuk dedikasi menjadi “Pahlawan Perubahan”. Selanjutnya, guru pun harus mengerti bahwa mereka mempunyai tanggung tanggapan tidak spesialuntuk di dunia tetapi juga di akhirat.

Mereka mengajarkan ilmu yang bermanfaa untuk manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang tepat dimana mereka pun akan hidup menurut apa yang mereka dapatkan dari guru-gurunya. Mereka dihentikan melewatkan peluang apapun untuk berguru lebih ulet menjadi seorang guru yang berpredikat benar-benar sebagai “guru”. Tidak malah mengacukan acara baik menyerupai seminar, MGMP, atau pertemuan kasatmata antar guru dalam rangka peningkatan kualitas. Bukankah acara menyerupai itu ialah momentum untuk menyebarkan masukan, hambatan maupun solusi dalam proses berguru mengajar. Apalagi kalau mereka termasuk guru peserta penghasilan pemanis “sertifikasi” yang seharusnya bisa melaksanakan lebih sesuai penghasilan lebih yang diterimanya, dan tidak malah mempertahankan gelar MSD (Masih Seperti Doeloe). Jadi, sungguh sangat diakungkan kalau tugas itu tidak bisa mereka jalankan tetapi masih tetap dipertahankan menjadi seorang guru bersimbol sertifikasi. Dalam hal ini, pemerintah wajib melaksanakan kontrol dan penilaian menyeluruh terhadap kinerja para guru tanpa pandang bulu.

Akhirnya, marilah kita peduli dengan sekelumit duduk kasus ini. Perbaikilah seleksi guru, perhatikan kesejahteraannya, tingkatkanlah kemampuannya, jalankan pengawasan yang kontinu dan ketat. Besar cita-cita ini supaya pendidikan nusantara bisa berjaya kembali! Aamiiin, Insya Allah. Salam Semangat!*_*