Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perlunya Standarisasi Penugasan Di Perguruan Tinggi Tinggi

INIRUMAHPINTAR - Tugas berupa makalah, projek, membuat summary, karya ilmiah, presentasi memakai power point, merekam video, menulis tangan, hingga menghafal ribuan kata yaitu beberapa contoh tanggung tanggapan yang biasa menemani waktu istirahat para mahasiswa, khususnya di Indonesia. Tugas tersebut yaitu pemdiberian dari dosen. Dan tentu saja, penugasan ini yaitu hal yang lumrah sebagai materi evaluasi.

Namun, faktanya tidak sedikit mahasiswa yang mengeluhkan kerumitan dan ketidakwajaran kuantitas kiprah yang mereka peroleh dari dosen. Dalam hal ini, beban penugasan tidak seimbang dengan durasi dan deadline pengumpulan tugas. melaluiataubersamaini demikian, perihal Perlunya Standarisasi Penugasan di Perguruan Tinggi wajib menjadi topik pertimbangan dalam upaya menyebarkan kualitas akademi tinggi sebagai jembatan intelektual yang ber-perikemanusiaan.

Terlepas dari faktor kemalasan dan ketidak-disiplinan mahasiswa mengatur aktivitas belajar, beban kiprah kuliah kadang-kadang memaksa mahasiswa untuk begadang semalam suntuk dan kehilangan pola makan teratur. Bahkan tidak sedikit yang hingga merasa tertekan dan karam dalam kegalauan luar biasa.

Coba bayangkan, jikalau seorang dosen mempersembahkan kiprah menulis tangan sebuah pidato sebanyak 20 halaman, kemudian menghafalkan, merekam, dan menguploadnya ke Youtube dalam waktu 2 minggu. Dan parahnya lagi, belum ada sedikitpun bimbingan membuat pidato yang baik dan benar dari dosen bersangkutan. Bahkan, belum ada contoh pidato 20 halaman, karya dosen tersebut sebagai materi motivasi dan ilham bagi mahasiswa. Lagi pula, jikalau dosen benar-benar ingin melihat kemampuan mahasiswanya, haruskah 20 halaman? bukankah 1 atau 2 halaman lebih dari cukup untuk sekedar melaksanakan evaluasi. Mungkinkah ini benar-benar kiprah kuliah atau sebuah hukuman?

sumber ilustrasi : Pusing! Ini Tugas atau Hukuman gak sih?

Kasus lain menggambarkan kondisi serupa. Coba rasakan betapa tersiksanya mahasiswa jikalau sang dosen mempersembahkan kiprah projek mereview daerah bersejarah atau lokasi wisata yang letak dan posisinya jauh dari daerah tinggal mahasiswa. Tidakkah dosen mengerti bahwa umumnya mahasiswa yaitu penhadir - tidak mengerti apa-apa dan spesialuntuk mengandalkan uang seadanya.

Apalagi jikalau penugasan tersebut membutuhkan ongkos tambahan yang memberatkan mahasiswa, atau tanpa aba-aba dan pemdiberitahuan resmi dari pihak kampus dalam aktivitas perkuliahan, bukankah itu di luar ambang batas kewajaran? Belum lagi jikalau pergi atau tidaknya mahasiswa menjadi pertimbangan dosen mempersembahkan nilai. Sungguh terlalu!

Berdasarkan permasalahan di atas, maka akademi tinggi perlu meninjau dan memantau sepak terjang dosen-dosen mereka.  Apakah benar-benar sudah sesuai dengan kurikulum kampus atau belum. Jika belum, kampus sebaiknya menindaklanjuti dengan melaksanakan peneguran atau pemdiberian hukuman terhadap oknum dosen yang mempersembahkan kiprah tidak wajar.

Dalam hal ini, kiprah pengawasan dari mata-mata kampus harus bekerja terbaik. Lalu, bagaimana jikalau secret service ibarat ini belum ada? Itu berarti pucuk pimpinan harus turun tangan eksklusif ke lapangan - bergerak memantau ala detektif sebagai biro penyelamat kampus.

Andai duduk masalah penugasan masih terus menjadi bumerang, akademi tinggi perlu lebih fokus dan tegas dalam menegakkan standarisasi penugasan. Kampus wajib meng-ada-kan teladan ini. Melalui kebijakan tersebut, dosen sanggup mempunyai panduan yang terang dalam menjalankan kewajibannya sebagai motor pelopor generasi muda tanpa kehilangan rasa perikemanusiaan.

Selanjutnya, kampus wajib menyediakan sebuah sentra pelayanan mahasiswa sebagai wadah mengungkapkan keluhan. Mahasiswa perlu dilindungi hak-haknya sebagai intelektual muda yang bebas intimidasi, perlakuan tidak wajar, dan pemdiberian kiprah berlebihan. Sebagai pelengkap, kampus pun wajib mendorong para mahasiswa untuk melaporkan tindakan kurang masuk akal atas pelayanan pengajaran dari dosen semoga kampus segera menindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku.

Pada akhirnya, jikalau sistem penugasan sudah berjalan sesuai standar kampus, mahasiswa akan merasa tenang. Mereka sanggup mengerjakan kiprah kuliah dengan lebih matang tanpa kehilangan hak hidup sehat dan nyaman. Dalam hal ini, kuantitas bukan lagi tujuan utama.  Kualitas, bobot, kedalaman isi, dan keotentikan kiprah menjadi nomor satu.

Melalui cara ini, meski hal sepele atau mungkin disepelekan, sebuah proses pendidikan di jenjang akademi tinggi akan semakin tumbuh dan maju - menjadi pilar-pilar kemajuan bangsa dan melahirkan bibit-bibit unggul bergelar sarjana, master, dan doktor.