Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi Peduli Bangsa Jeritan Nusantara

INIRUMAHPINTAR - inilah Puisi Peduli Bangsa "Jeritan Nusantara". Dalam puisi ini terkandung sebuah makna mendalam wacana rasa empati penulis terhadap bangsanya. Penulis ingin menggambarkan betapa banyak jeritan-jeritan pahit yang tak bisa disuarakan para wong cilik atau rakyat jelata di banyak sekali belahan nusantara. Namun, mereka tak bisa berbuat apa-apa, seakan tak ada yang peduli dengan mereka. Sementara di panggung penguasa, ada saja konspirasi yang ingin memperkaya diri walau harus mengorbankan masyarakat kecil. Semoga ungkapan rasa penulis dalam puisi berjudul "Jeritan Nusantara" bisa menggugah para pejuang membersihkan yang berpihak kepada rakyat supaya terus bergerak dan berjuang demi kejayaan bangsa dan rakyat Indonesia.

PUISI "Jeritan Nusantara" 

karya Ahn Ryuzaki

Kami sengsara alasannya ialah tanah kami kini lahan g4nj4,
Kami nelangsa alasannya ialah maritim kami kini milik mafia,
Kami ringkih alasannya ialah hutan kami kini kumuh lagi lusuh,
Kami lumpuh alasannya ialah pegunungan emas kami tak lagi utuh,

Kami jeri alasannya ialah payung aturan kami penuh duri,
Kami rugi alasannya ialah harta kami tercuri monster berdasi,
Kami buta alasannya ialah jalan kami berasap karbon dioksida,
Kami kehausan alasannya ialah air minum kami lumpur penguasa,

Kami menjadi lena pada setiap butir Pancasila,
Kami menjadi amnesia pada Undang-Undang Dasar pasal tiga tiga,
Kami pun sebatang kara alasannya ialah Ayah Bangsa sudah tiada,
Kami pun kini lupa bila nusantara kami negeri kaya.

Watansoppeng, 9 Oktober 2014

Makna Puisi - Jeritan Nusantara

Puisi ini menceritakan wacana jeritan rakyat yang masih sering terdengar oleh telinga-telinga peka. Di bait pertama, sangat terang kita ketahui bahwa penulis mewakili rakyat menyuarakan satu permintaan bahwa sebagian lahan di negeri ini, masih ada saja yang dimanfaatkan oknum tidak bertanggung balasan untuk menanam g4nj4, salah satu tanaman yang tergolong zat Nark0tika. 

Tentu, mereka yang melaksanakan itu ialah pihak yang ingin merusak bangsa ini. Demi laba pribadi, mereka rela memanfaatkan lahan rindang nusantara untuk keburukan. Yaitu turut serta menyuplai peredaran zat terlarang di bumi pertiwi.

Masih di bait pertama, baris kedua, penulis menggambarkan betapa laut-laut negeri ini yang kaya akan ikan dan biota maritim dimanfaatkan oleh para cecunguk untuk menjarah kekayaan maritim nusantara. (Tapi ini dulu) Sekarang, Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) sudah bertahap bekerja membasmi para pencuri ikan, khusus kapal-kapal dari luar negeri.

Selanjutnya, di bait ketiga, penulis mengungkapkan kegelisahan masyarakat Indonesia dengan mewabahnya penebangan hutan dimana-mana tanpa ada upaya penanaman kembali atau penghijauan. Padahal, eksploitasi ini mempunyai ancaman yang banyak, salah satunya kebakaran hutan yang berdampak sistemik, dimana asapnya bukan spesialuntuk meracuni masyarakat sendiri, tetapi juga menjangkau negara-negara tetangga.

Belum lagi, kekayaan alam lain menyerupai tambang yang dimiliki negeri ini. Masih bertolak belakang dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Tentu, kita terenyuh melihat bangsa ini, kok belum juga bisa-bisa menjadi negara maju, masih banyak yang hidup serba secukupnya atau bahkan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal, Indonesia kaya dengan sumber daya alam, salah satunya pegunungan emas di Papua. Jadi, hingga detik ini, belum bisa dikatakan Indonesia sepenuhnya mempunyai kekayaan itu. Coba andai pemangku kebijakan negeri ini mengambil alih dan memakai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat! Pasti Indonesia jauh lebih makmur.

Di bait kedua baris pertama, penulis mengamati sistem penegakan aturan bangsa ini yang belum juga benar-benar adil. Masih banyak kasus yang terbukti tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Bagi mereka yang berbuat salah atau mungkin terpaksa melaksanakan kesalahan, aturan begitu simpel ditegakkan, biasanya bahkan tidak ada upaya menolongan aturan berupa pembelaan (karena tidak bisa mengpenghasilan pengacara). Namun, bagi mereka yang melaksanakan kesalahan besar, bahkan merugikan bangsa sendiri, begitu susahnya ditangkap, berlapis-lapis persidangan, banding, dsb. Lalu, setelah memperoleh hukuman, simpel menerima keentengan masa tahanan, bahkan ada yang kedapatan bisa berlibur, meski berstatus penghuni hotel prodeo.

Sejalan dengan baris pertama, di baris kedua bait kedua, penulis masih menyayangkan banyaknya kasus korupsi yang belum terungkap di negeri ini. Bahkan ada kasus besar yang hingga kini belum juga bisa terselesaikan. Miris bukan?

Masalah diberikutnya yaitu pencemaran udara. Selain alasannya ialah kebakaran hutan, asap pabrik dan kendaraan bermotor turut andil dalam mengurangi jatah oksigen buat rakyat. Setiap ketika racun karbon dioksida menyelinap memenuhi susukan pernafasan. (Semoga ada jalan keluar, minimal dengan upaya menambah area hijau di kota-kota besar, melarang penebangan pohon secara sembarangan, atau menekan jumlah kendaraan bermotor, dsb).

Di baris terakhir bait kedua yaitu wacana rakyat yang selalu merasa kehausan. Tentu bukan haus sebenarnya. Intinya, rakyat belum juga mencicipi kesejahteraan atas negerinya yang katanya sudah merdeka. misal paling kecil misalnya, kondisi jalan raya di kabupaten/kota, masih banyak yang belum layak pakai. Lubang dimana-mana sehingga membahayakan pengendara, khususnya pengendara roda dua. Terutama di malam hari, tanpa ada penerangan yang layak. Jikapun diperbaiki, paling setahun atau dua tahun rusak lagi. Betapa guahnya negeri ini. Rakyat haus kesejahteraan dan berhak hidup layak di bumi mereka yang sudah merdeka.

Di alinea terakhir, penulis berusaha mengingatkan kembali wacana bunyi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 wacana pemerataan kesejahteraan. Yah, buktinya belum juga berjalan mulus. Negeri ini masih perlu berbenah. Rakyat merindukan sosok bapak/ibu bangsa yang tidak spesialuntuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga aktif, kreatif, dan peduli terhadap kesejahteraan negeri ini.