Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi Renungan - Mencar Ilmu Dari Alam

INIRUMAHPINTAR - INI Puisi Renungan - Belajar dari Alam. Kandungan isinya menyiratkan sebuah renungan batin yang mengajak para pembaca untuk terus belajar. Menyatu dengan alam semesta, menemukan kejujuran, kesetiaan, dan kemandirian. Semua bisa dipelajari ternyata. Lihatlah sekitar kita, dan temukan betapa banyak ilmu dan pelajaran yang sanggup diperoleh dari alam dan sekitarnya.

Belajar dari Alam

karya : Ahn Ryuzaki

Belajarlah berjanji pada matahari yang tak pernah terlambat bersinar menghampiri pagi,
Belajarlah menyebarkan pada ayam bertaji yang setia bernyanyi membangunkan alam menjelang pagi,
Belajarlah rendah hati pada batang padi yang semakin meliputi semakin menundukkan jati diri,
Belajarlah harga diri pada pisang yang tak pernah rela mati sebelum menitipkan generasi,
Belajarlah berbakti pada nyiur melambai yang merelakan seluruh jiwa raga tanpa terkecuali,
Belajarlah menentukan pada burung merpati yang senantiasa setia sehati hingga nafas terhenti,
Belajarlah bersabar pada tangan kiri yang tak pernah iri hati meski ajun mendapat kepingan lebih berarti,
Belajarlah bersyukur pada kupu-kupu warna-warni yang ceria terbang ke sana ke mari walau umur cuma sehari,
sumber ilustrasi : Flickr
Belajarlah berjuang tiada henti pada akar mahoni yang mencari kehidupan hingga menembus bumi,
Belajarlah mendidik pada Singa Siliwangi yang tak pernah menyakiti buah hati walau dikenal musuh sebagai pemangsa ganas tak berhati,
Belajarlah berpetualang pada air di penjuru negeri yang menjelajahi 5 benua 5 samudera hingga ke langit, menjadi hujan kemudian memanggil pelangi,
Belajarlah berserah diri pada bumi pertiwi yang mewakafkan diri sebagai daerah berzikir dan bertani biar insan mengerti dan mengabdi pada Ilahi.


Apa Makna yang Terkandung dalam Puisi - Belajar dari Alam

Puisi ini mengajarkan kita untuk berguru apa saja dari alam sekitar. Pesan-pesan yang tersirat di balik gejala-gejala alam dan fenomena-fenomena duniawi di sepanjang perputaran siang dan malam mengandung banyak pelajaran berharga. Bagi insan yang berpikir dan mau memakai pikirannya dengan bijak, seyogyanya bisa memaknai setiap kejadian itu sebagai tuntunan menjadi pribadi-pribadi yang baik. Pribadi yang menyayangi lingkungan, manusia-manusia lain, sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.

Puisi ini dimulai dengan 4 pelajaran yang bisa diteladani dari alam sekitar sebagaimana tersebut di bait pertama. Matahari yang tidak pernah terlambat bersinar di pagi hari menyiarkan pesan kepada kita untuk selalu tepat waktu dan menepati janji. Selanjutnya, ayam jantan yang rajin berkokok, membangunkan insan di dikala fajar yakni teladan kerelaan untuk berbagi. Jika diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, baiknya kita sebagai makhluk pintar senang menyebarkan tanpa pamrih sesuai potensi dan kemampuan kita masing-masing.

Selanjutnya, pelajaran yang sanggup dipetik yaitu pada batang padi. Semakin meliputi dan menjelang dipguan, batang padi semakin merunduk. Sinyal ini mendidik kita untuk tidak pernah sombong dengan apa yang kita miliki. Semakin kita kaya, diberilmu, jabatan tinggi, dan punya segalanya, harusnya kita semakin rajin menundukkan kepala dan rendah hati. Sungguh luar biasa, kalau kebahagiaan dan kesenangan yang dimiliki sanggup dibagi bersama kaum-kaum yang membutuhkan. Bukankah harta, jabatan, dan pesona yakni titipan. Semuanya tidak abadi, dan roda kehidupan pun selalu berputar. Jadi, eloknya yakni ketika berada di puncak, tidakboleh pernah lupa dikala masih di lembah.

Hikmah diberikutnya yakni ilmu pohon pisang. Jika diamati, pohon pisang tidak pernah berbuah dua kali. Satu sudah cukup. Hebatnya dimana? hebatnya yakni sebelum mati, induk pisang selalu mempunyai generasi berupa tunas gres di sampingnya. Apa pelajarannya? Sebelum mati, insan setidak-tidaknya mempunyai manfaat yang terus dikenang biar menjadi amal jariah - amal yang tidak pernah terputus. Manusia harus mempunyai kadar kebaikan lebih banyak dibanding keburukan. Meski disadari, insan biasa tidak ada yang bisa luput dari kesalahan. Makanya, kalau tidak bisa berbuat kebaikan, minimal tidakboleh berbuat keburukan; kalau tidak kuasa memmembersihkankan, minimal tidakboleh mengotori; kalau tidak cakap mendidik, minimal tidakboleh menghardik; dan kalau tidak sanggup berkata bijak, minimal tidakboleh pernah menghina.

Di bait kedua, pesan yang sanggup diperoleh yaitu ilmu dari pohon kelapa. Seluruh kepingan dari pohon kelapa bermanfaa untuk kehidupan. Buahnya dimakan, batangnya dibentuk papan, daunnya dibentuk ketupat, airnya dibentuk santan dan minyak, serta tempurungnya dan kulit kelapanya dijadikan kayu bakar. Begitulah seharusnya manusia, seluruh hidup dan potensinya harus dijadikan bermanfaa untuk orang lain. Kemampuan fisik yang lebih digunakan untuk menolong yang lemah, rezeki yang banyak digunakan memmenolong orang yang belum sempurnanya, ilmu yang unggul dimanfaatkan untuk mencerdaskan orang lain. Pada dasarnya, ada banyak hal yang bisa dilakukan di kehidupan ini.

Selanjutnya, di dalam hidup kita pun harus senantiasa setia sebagaimana burung merpati kepada pasangannya. Setia pun bisa diterjemahkan untuk apapun. Setia kepada pasangan hidup, setia kepada atasan, setia kepada pemimpin, setia kepada kawan, dan setia kepada siapa saja. Selama tidak ada yang salah, mengapa kita tidak setia? Bukankah kebahagiaan itu lahir dari kesetiaan?

Di dalam kehidupan, tidak jarang kita menemukan ketidakadilan atau perlakuan tidak adil. Kita seringkali menakar menurut sudut pandang kita tanpa mau mengerti pola pikir orang lain. Orang lain mungkin mendapat kepingan lebih dibanding yang kita peroleh atau sebaliknya. Semua bisa terjadi. Apakah kita harus marah? Sebelum murka dan berontak, sebaiknya kita berguru pada tangan kiri. Meski sepanjang waktu, ajun selalu mendapat kepingan kiprah yang membersihkan, tangan kiri tidak pernah protes. Begitulah kita seharusnya, selama tidak disakiti, dihina, dan diganggu maka eloknya setiap perlakuan kurang sangat senang dihadapi dengan kesabaran, kecuali perlakuan itu sudah melanggar aturan dan norma kehidupan barulah kita melawan. Dan melawan pun harus bijak dan bukan dengan ikut-ikutan melanggar hukum.

Lalu, bagaimana menghadapi nasib yang tidak sama-beda? Manusia ditakdirkan beragam. Ada yang miskin, kaya, hitam, putih, kurus, gemuk, dan sebagainya. Apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya. Belajarlah kepada kupu-kupu? Syukuri tiruananya dan belajarlah memetik pesan yang tersirat dari setiap tujuan penciptaan kita di dunia. Bukankah Allah menjamin hidup kita di dunia bagaimana pun kita. Penjahat sekalipun dijamin selalu memperoleh oksigen untuk hidup. Apalagi yang memang menentukan untuk menjadi orang baik. Oleh sebab itu, selama umur masih ada, baiknya kita memperbanyak bersyukur atas segala nikmat Allah SWT yang tidak ternilai banyaknya, kita peroleh sepanjang waktu.

Di bait terakhir, penulis menyerukan kita untuk melihat alam semesta sebagai satu kesatuan. Semua tunduk teratur mengikuti kodratnya. Pepohonan, hewan, air, tanah, dan seluruh unsur-unsur yang ada di muka bumi menjalankan kiprah penciptaannya tanpa kenal lelah atau melampaui seharusnya. Siapa yang mengatur keteraturan itu? manusia-kah? bukan, insan saja banyak melaksanakan kesalahan. Lalu siapa? Dia yakni Allah SWT, Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Jadi, masihkah kita tidak mau tunduk pada syariah-Nya?