Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyikapi Program Tv Yang Tidak Mendidik

INIRUMAHPINTAR - Menonton TV yakni salah satu acara yang biasa dilakukan sepulang kerja atau beraktivitas seharian sembari berkumpul bersama keluarga. Dalam suasana keakraban tersebut, pikiran dan tenaga membutuhkan refreshing atau penyegaran. Hanya dengan menekan remote, kita pun bebas menentukan bermacam-macam channel dan acara TV yang disukai. 

Idealnya, acara menonton TV dijadikan sebagai hiburan saja sehingga sehabis menonton perasaan, pikiran, dan tenaga sanggup fit kembali. Bukan malah menjadikannya sebagai tongkrongan semata sampai mengabaikan aktivitas-aktivitas lain yang lebih berharga, ibarat mengurus anak, mengerjakan kiprah rumah tangga, dan berguru bagi mereka anak sekolahan/kuliahan. 

Selain itu, acara menonton TV terkadang juga dijadikan sebagai momentum pelepas kesuntukan dan rasa bosan. Seorang Ibu yang sudah final menuntaskan urusan rumah tangga misalnya, lebih cenderung menentukan menonton TV sembari pulas-pulasan menunggu suami pulang kerja dan anak pulang dari sekolah. Lalu, sepulang sekolah, si anak pun biasanya duduk menemani ibunya menonton TV. Termasuk di kantor-kantor pelayanan publik contohnya di Bank atau Kantor Pegadaian, sembari menunggu antrian, para nasabah biasanya menonton acara TV yang disediakan di ruang tunggu.

Meskipun ketika ini, mengutak-atik gadget sudah menjadi acara alternatif selain menonton TV di kala bosan, bisnis pertelevisian masih tetap bersinar. Para pengelola stasiun TV hampir tiap hari berupaya menghadirkan acara-acara TV menarikdanunik dan menghibur. Begitu pun TV diberita, siang malam memanjakan penikmatnya dengan diberita-diberita terbaru.


Terlepas dari bisnis pertelevisian yang tentu mencari laba sebesar-besarnya, sepertinya ada hal esensial yang terlupakan. Demi mengejar rating tinggi, sekarang mutu acara -acara TV banyak dikorbankan. Saya tidak bermaksud merendahkan para tim kreatif atau produser, tetapi saya spesialuntuk mengharapkan acara-acara TV yang dihadirkan untuk khalayak sepantasnya bukan spesialuntuk mengandung nilai-nilai hiburan, tetapi juga bisa mendidik, menambah pengetahuan, dan mencerdaskan para pemirsanya. Maka dari itu, jumlah acara TV yang bermanfaa perlu ditambah.

Jika saya menyempatkan diri menyalakan TV di pagi hari, selain acara diberita, acara religi, serial animasi anak karya negeri tetangga ibarat "UPIN IPIN" dan "Pada Zaman Dahulu Kala", hampir tidak ada lagi acara-acara lain yang menarikdanunik, menghibur, menambah pengetahuan, sekaligus mendidik. Maaf, kalau evaluasi saya subjektif, tetapi saya yakin banyak pemirsa TV yang sependapat dengan aku.

Di siang sampai sore hari, sinetron, serial FTV, dan drama India silih berganti mewarnai layar kaca. Padahal kalau diamati benar-benar, hampir tidak ada nilai-nilai pendidikan aksara yang terkandung di dalamnya. Umumnya, menentukan genre "percintaan", "asmara", dan "gaya hidup hedonis" yang tentu saja kurang pantas dinikmati para anak-anak, remaja, dan pemuda-pemudi goyah yang belum menemukan jati diri.

Saya teringat di tahun 90-an, ada serial TV berjudul "Keluarga Cemara" atau "Lorong Waktu". Jenis tayangan ibarat inilah yang dirindukan para orang bau tanah yang peduli terhadap perkembangan mental anak didiknya. Pemirsa TV yang umumnya darah muda membutuhkan acara-acara TV yang bisa menanamkan nilai-nilai multifungsi semoga mereka mempunyai pondasi psikologis, pengetahuan, dan aksara yang positif.


Sedangkan di malam hari, acara dangdut, musik, dan sinetron banyak lagi bermunculan. Bukan melarang, tetapi menghadirkan kembali acara-acara mendidik ibarat kuis "who wants to be a millionare" atau "family 100" sebagai penyeimbang juga sebaiknya tetap dilakukan.

Dan baiknya polemik ini menerima perhatian khusus dari Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai perpantidakboleh tangan dari pemerintah kemudian disambut bangga oleh TV-TV nasional dengan mengembalikan acara-acara TV yang berkarakter.

Jika tidak bergerak cepat, lambat laun, negeri kita akan menyebabkan TV sebagai pembenaran atas karakter-karakter jelek yang mereka perbuat di kemudian hari. TV sanggup menjadi idola. Sayangnya, idola yang mengantarkan mereka ke lembah kehinaan dan keburukan. Jadi, tidakboleh heran kalau ada pelajar yang karam ke dalam liang asmara "cinta monyet", atau mahasiswa-mahasiswi yang kumpul kebo, balap-balapan di jalan raya, sampai tawuran. Itu tiruana mereka pola dari tayangan TV. Jadi, sinetron/serial TV bergenre sekolahan/kuliah dengan bumbu asmara, balap-balapan, dan acara-acara kurang mendidik lainnya sebaiknya diganti dengan acara yang lebih berkarakter.

Saya setuju kalau Indonesia lebih menyebarkan bakat-bakat animasi anak negeri dengan mendorong banyaknya serial TV ibarat Adit dan Sopo Jarwo dan Keluarga Somad tampil di TV. Bukan tidak mungkin, kelak ada film-film animasi Indonesia yang bisa unjuk gigi sampai kancah Internasional, asal mereka didiberi peluang seluas-luasnya.

Di pentas per-film-an sendiri, genre belum dewasa semakin hilang kolam ditelan bumi. Ayo, para sutradara terbaik di negeri ini! bangkitkan kembali wangsit kreatif kalian, hadirkan kembali film-film inspiratif ibarat "Petualangan Sherina" semoga banyak belum dewasa Indonesia yang tumbuh bersama film-film berkarakter.

Sebagai penutup, semoga ide-ide yang tertuang di goresan pena ini sanggup mempersembahkan pencerahan. melaluiataubersamaini harapan, acara-acara TV ke depannya makin baik dan pemirsanya semakin banyak sehingga kita tumbuh bersama menjadi negeri yang terdidik.