Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seni Wayang; Rujukan Pengantar

Jawa Tengah mempunyai banyak sekali kesenian tradiasional yang mengakar pada kepribadian sendiri, satu di antaranya yakni seni pertunjukan wayang kulit. Kesenian wayang kulit yakni kesenian orisinil etnis Jawa Tengah yang sudah diakui oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai nilai “adhiluhung”, yang bisa menyerap kesenian manca negara dengan tetap berpijak pada bentuk dan tradisi kesenian wayang kulit yang asli. Oleh lantaran itu, seni wayang kulit ialah salah satu keseniaan tradisional yang pertama-tama perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai identitas maupun bukti jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia pada umumnya.
Wayang yakni salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol. Budaya wayang meliputi seni peran, seni bunyi (musik), seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke zaman juga ialah media penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Dalam setiap lakon sanggup diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan terurat dalam setiap lakon semoga insan sanggup mengambil hikmahnya. melaluiataubersamaini demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi insan Jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga Jawa.
Hasil kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia berupa pertunjukan wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai simbolis, dan nilai historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan dan masih diagungkan keberadaannya hingga sekarang. Begitu besar perhatian orang-orang Jawa terhadap keberadaan wayang ini, maka wayang dianggapnya sebagai dasar filosofis insan Jawa.
Bahkan lampau banyak orang-orang Jawa mempersembahkan nama-nama anaknya dengan tokoh-tokoh ibarat dalam pewayangan. Dalam masyarakat Jawa banyak sekali dongeng mempersembahkan makna terhadap banyak sekali sikap dan tabiat insan dalam rangka pencapaian tujuan hidup.
Perkataan wayang berdasarkan bahasa Jawa yakni wayangan (layangan), berdasarkan bahasa Indonesia yakni bayang-bayang, samar-samar, tidak jelas, berdasarkan bahasa Aceh: bayangan arti wayangan, berdasarkan bahasa Bugis wayang atau bayang-bayang. Sedang dalam bahasa Bikol (Jawa kuno) berdasarkan pendapatnya Prof. Kern wayang yakni bayangan yang bergoyang-goyang, bolak-balik (berulang-ulang) mondar-mandir, tidak tetap.
Arti harfiah dari wayang yakni bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang sanggup berarti pertunjukan panggung dan teater atau sanggup pula berarti bintang film dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain.
Secara etimonologi wayang sebagaimana pendapat R.T. Josowidagdo yakni berasal dari bahasa “ayang-ayang” (bayangan) lantaran yang dilihat yakni bayangan dalam kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang). Bayangan tersebut nampak lantaran sinar blencong (lampu di atas kepala sang dalang). Ada juga yang beropini bahwa wayang berarti bayangan agan–agan, sehingga segala bentuk apa saja dari wayang yakni diubahsuaikan dengan adanya kelakuan tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan itu.
Aliran kebatinan Harjaning Diri, mengartikan wayang berarti "wewayanganing manungsa" (bayang-bayang manusia), maksudnya melihat wayang berarti sama halnya melihat beling rias, yang dilihat oleh orang bukan kacanya tetapi apa yang ada dalam kaca, yaitu dirinya pribadi. Sebab wayang ialah bahasa simbul dari hidup dan kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya. melaluiataubersamaini mempelajari dan mengenal wayang kita sanggup mengenal hidup dan kehidupan kita sendiri.
Menurut versi kebatinan wayang disebut dengan "ringgit", dalam bahasa Jawa diartikan dengan saentenging-anggit artinya kudu disaringlan di anggit, maksudnya harus dicari intisarinya.
Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang tidak terang spesialuntuk kurang jelas bergerak ke sana ke mari. melaluiataubersamaini bayangan yang kurang jelas tersebut tidak diartikan sebagai citra perwatakan manusia, lebih dari itu sering pula dimaksudkan sebagai penggambaran kehidupan insan di masa lampau.
Kata wayang sanggup diartikan sebagai citra atau tiruan insan yang terbuat dari kayu, kulit, dan sebagainya untuk mempertunjukkkan sesuatu lakon (cerita). Arti lain dari kata wayang yakni ayang - ayang (bayangan), lantaran yang dilihat yakni bayangan di kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang). Disamping itu, ada yang mengartikan bayangan angan-angan, yang menggambarkan sikap nenek moyang atau orang yang terlampau (leluhur) berdasarkan angan-angan, lantaran terciptanya segala bentuk wayang diubahsuaikan dengan sikap tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan.
Adapun arti wayang berdasarkan istilah yang didiberikan oleh Doktor Th. Piqued ialah: (1) Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri) (2) Pertunjukkannya, dihidangkan dalam banyak sekali bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wetidakboleh-wetidakboleh), yaitu wayang purwa atau wayang kulit yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument) slendro.
G. A.J. Hazzeu (seorang andal sejarah kebudayaan belanda), menunjukkan keyakinannya bahwa wayang ialah pertunjukkan orisinil Jawa. Wayang yakni “Walulang Inukir” (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.
Sri Mulyono berpendapat, wayang yakni sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata “yang” menerima komplemen “wa” yang menjadi wayang. Kusumajadi menyampaikan wayang yakni bayangan orang yang sudah meninggal, jadi orang yang digambar itu sudah meninggal, lebih lanjut ia menerangkan: kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa: trah yang berarti turunan, yang: hyang yang berarti eyang kakek, atau leluhur yang sudah meninggal. Arti lain dari wayang yakni (bayangan) potret kehidupan yang meliputi sguapa, piwulang, pituduh (kebiasaan hidup, tingkah laris insan dan keadaan alam) atau wayang yakni budbahasa kehidupan manusia.
Wayang dalam engkaus bahasa Indonesia yakni boneka tiruan insan dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang sanggup dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Sunda, Jawa dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh seorang dalang.
Kemunculan wayang kulit ini ada yang meyebutkan bahwa wayang bermula dari relief candi, semoga sanggup dibawa dan dikisahkan atau dipertunjukkan, bentuk pada relief itu dikutip pada bentuk gambar yang sanggup digulung, hal ini terbukti banyak candi yang memuat relief dongeng wayang. Misalnya candi Prambanan (Yogyakarta), dan candi Penataran (Blitar), candi Jago(Malang-Jawa Timur). Ada pendapat yang menyampaikan bahwa timbulnya wayang itu dari kepercayaan pada roh leluhur yang sudah mati, yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pelindung dalam kehidupan.
Pengertian wayang yang begitu banyak maka, penulis katakan bahwa wayang yakni suatu hasil seni budaya insan yang menggambarkan ihwal tingkah laris kehidupan insan dalam menempuh kesejahteraan dan diberibadah kepada Tuhan. Karena wayang ialah lambang insan yang diubahsuaikan dengan tingkah lakunya, lantaran wayang itu sendiri apabila dipraktekkan akan membawa tugas yang meliputi beberapa aspek aliran ke-Tuhanan, filsafat, moral, dan mistik.
®
Kepustakaan:
Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, Enslikopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991). Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Sebuah Tinjauan ihwal Bentuk, Ukiran, Sunggingan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991). Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize, 1993). Asmoro Achmadi, Filsafat Dan Kebudayaan Jawa, Upaya Membangun Keselarasan Islam dan Budaya Jawa, (Semarang: Cendrawasih, 2003). Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1996). W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997). Sagio dan Samsugi, Wayang Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan, Sunggingan, dan Tehnik Pembuatannya, (Jakarta: CV.Hajimasagung, 1991). Effendy Zarkasi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan, (Sala: Mardikintoko, 1997).