Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Batas Dalam Ushul Fikih

Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk berguru ilmu tehnik (Engineering) di Universitas sampai tahun 1964.
Akurasi istilah-istilah yang dipakai dalam al-Quran dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup populer yang ditawarkannya yaitu teori batas (Nazariyyah al-Hudud). Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan istiqamah. Kedua sifat ini selalu berperihalan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat, Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah yaitu penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqamah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyah yaitu sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda semenjak dari elektron yang paling kecil sampai galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh alasannya yaitu itu dikala insan sanggup mengusung sifat menyerupai ini maka ia akan sanggup hidup serasi dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum.
Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan pembiasaan dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan aturan yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam, ia lebih ialah karunia dewa semoga ada bahu-membahu dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.
Sesuai dengan pandangan terhadap alam ini, aturan kelengkungan atau hanifiah dilihat dari representasi dari sifat gerak tidak lurus. Begitu pula, kebiasaan, sopan santun dan tradisi sosial cenderung hidup secara serasi sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam satu masyarakat. Di lain pihak, kebutuhan-kebutuhan ini juga cenderung tidak sama antara satu msyarakat dengan masyarakat lainnya, atau bahkan satu masyarakat itu sendiri. Demi mengontrol perubahan ini, kelurusan/istiqomah menjadi sangat diperlukan untuk menegakkan aturan hukum. Tidak menyerupai hanifiyyah, istiqomah bukanlah bab dari aturan alam, tetapi ia lebih sebagai ketentuan tuhan, yang bahu-membahu hanifiyyah untuk mengatur manusia.
Hubungan antara hanifiyyah dan istiqomah sepenuhnya dialektis, dimana ketetapan dan perubahan yang terdapat pada kekerabatan tersebut terjalin berkelindan. Dialektika ini sangat penting alasannya yaitu hal itu menawarkan bahwa aturan itu sanggup menyesuaikan diri di setiap waktu dan kawasan (sohih likulli zaman wa makan). Tetapi, apakah bentuk dari istiqomah yang diwahyukan Tuhan untuk melengkapi hanifiyyah? Di sini Syahrur memperluas inti duduk kasus dari teorinya, yang sering disebut dengan Theory of Limits atau teori batas-batas aturan (Nazariyatul Hudud).
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas.
Pertama, ketentuan aturan yang mempunyai batas bawah (had adna) dikala ia bangkit sendiri. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi, tepatnya dalam al-Quran Surat al-Nisa ayat 23. Menurut Syahrur, berkeluarga dengan anggota keluarga yang termasuk katagori hubungan-hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan yaitu berkeluarga dengan kerabat lain diluar anggota ikatan darah disebutkan dalam ayat tersebut.
Kedua, ketentuan aturan yang spesialuntuk mempunyai batas atas (had a’la) yang bangkit sendiri. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. misal ini sanggup ditemukan dalam (QS. al-Maidah: 38), ’Pencuri, baik pria maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka,’. Di sini, eksekusi yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampui. Dalam kasus ini, eksekusi sanggup dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
Adalah tanggungjawaban para hakim selaku mujtahid untuk memilih pencuri bertipe apa yang perlu dipotong tangannya, dan tipe apa yang tidak, dalam kerangka rasa keadilan masyarakat, para mujtahid harus memilih eksekusi yang setaraf dengan kesalahan yang dilakukan tersebut.
Ketiga, ketentuan aturan yang mempunyai batas atas dan bawah dikala keduanya berhubungan. Seperti aturan waris dan poligami. Gambaran tipe ini disebutkan dalam ayat al-Quran (QS. an-Nisa: 11). Tujuan ayat ini menyatakan bahwa bab pria sebanding dengan dua perempuan, kalau terdapat lebih dari dua anak perempuan, maka bab mereka yaitu 2/3 dari harta warisan. Dan kalau spesialuntuk terdapat satu anak perempuan, maka bab mereka yaitu setengah. Menurut Syahrur, sebuah penetapan batas maksimum untuk anak pria dan batas minimum untuk anak perempuan. Terlepas dari apakah perempuan sudah pencari nafkah, bagaimanapun bab perempuan tidak pernah sanggup kurang dari 33,3 persen, sementara bab pria tidak pernah mencapai 66,6 persen dari harta warisan. Jika perempuan wanita didiberi 40 persen dan pria 60 persen, proteksi ini tidak dikatagorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas maksimum dan minimum. Alokasi presentasi bagi masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu.
misal ini berdasarkan Syahrur, menunjukan kebebasan bergerak (hanifiyyah) dalam batasan-batasan (istiqomah) yang ditentukan oleh hukum. Batasan-batasan itu ditentukan oleh msyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Syahrur, aturan tidak harus diperlakukan sebagai pemberlakukan teks-teks yang suduh diturunkan berabad-abad kemudian di dunia modern.
Keempat, ketentuan aturan yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang. ini terjadi pada eksekusi zina yaitu 100 kali jilid yang tertera dalam al-Quran surat al-Nur ayat: 2.
Di sini, batasan maksimum dan minimum berpadu pada satu bentuk hukuman, yakni berupa seratus deraan. Allah menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpakan. Hukuman bagi pezina yaitu tidak boleh kurang atau leih dari seratus deraan.
Kelima, ketentuan yang mempunyai batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh. Karena dengan menyentuhnya berarti sudah terjatuh pada larangan dewa hal ini berlaku pada kekerabatan pergaulan antara pria dan perempuan (hubungan seksual).
Keenam, ketentuan aturan yang mempunyai batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas bawah yaitu pinjaman tanpa bunga (al-qard al-hasan).
Dari teori yang di tawarkan oleh Syahrur tersebut, aturan dalam pandangannya sanggup berubah sepanjang aturan itu bergerak di antara batas-batas dan tidak keluar darinya. Metodologi Syahrur tidak tunduk pada konsep yang dipahami secara tekstual, namun ia memadukan analisis tekstual dan kontekstual untuk menempatkan sebuah aturan yang humanis yang mempersembahkan panduan secara umum.
®
Kepustakaan:
M. In’am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003). Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta; Elsaq Press, 2007).