Hakikat Insan Berdasarkan Ahmadi
Hakekat wujud manusia, dalam pandangan Achmadi dikatakan: “Manusia makhluk jasmani-Ruhani yang paling mulia.” Hakikat wujud insan berdasarkan Ahmadi ini, sanggup dilihat dari beberapa segi, yaitu:
Segi Fisik Biologis
Jasad atau fisik insan asal mulanya dari tanah. Sesudah berproses menjadi bentuk manusia, dalam al-Quran disebut basyar yakni makhluk fisik-biologis. Sebagai makhluk biologis kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis hewan mamalia, yaitu dari nutfah, ’ala qah kemudian mudhghah (embrio) dan kesudahannya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih tepat dari binatang.
Segi Ruhani
Sesudah pembentukan fisik mendekati tepat dalam bentuk janin, Allah swt meniupkan Ruh-Nya kepada insan dan semenjak itu ia benar-benar menjadi makhluk jasmani rohani yang mulia sehingga malaikat pun diperintahkan oleh Allah swt biar tunduk kepada manusia.
Kelebihan insan itu terutama alasannya memperoleh percikan sifat-sifat kesempurnaan Ilahi yang kita kenal dengan ”Asmaul Husna” yang jumlahnya 99 itu, sehingga memungkinkan insan hidup dengan aneka macam kemampuan dan kewenangan sesuai dengan Asmaul Husna, dalam batas-batas kemakhlukannya.
Manusia dicipta sebagai wakil Tuhan di Bumi. Karena itu percikan Asmaul Husna itu ialah modal dasar untuk berperan sebagai wakil Allah swt di bumi. Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah swt, kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akhir percikan Asmaul Husna itu harus dipertanggungjawabankan kepada-Nya.
Tanda-tanda kemuliaan insan itu tampak dalam tujuan penciptaannya dan didiberikan aneka macam sumber daya insan yang ialah kelengkapan hidupnya.
Manusia makhluk yang suci saat lahir
Kesucian insan biasannya dikaitkan dengan kata ”fitrah”. Ditinjau dari bahasa hal ini tolong-menolong kurang tepat alasannya pengertian fitrah, sebagaimana sudah dijelaskan, ialah asal insiden atau contoh dasar penciptaan. Bila dikaitkan dengan asal kejadiannya, insan saat gres lahir memang masih suci dari segala noda dan dosa, walaupun ia lahir dari kedua orang renta yang bergelimang dosa.
Pandangan yang perlu diluruskan yang menyamakan fitrah dengan teori ”tabularasa” dari John Lock, yang menyatakan bahwa insan lahir tanpa membawa talenta atau potensi apa-apa. Menurut pandangan Islam justru dengan fitrah itulah insan mempunyai potensi-potensi dasar, bahkan dilengkapi dengan sumber daya manusia, meskipun tiruanannya masih tergantung pada proses pengembangannya lebih lanjut melalui pendidikan.
Manusia makhluk etis religious
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci di kala lahir, Tuhan senantiasa akan membimbingnya dengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Perbuatan etis juga ialah naluri manusia, oleh karenanya insan yang paling jahat sekalipun akan lebih suka pada orang yang mempunyai etika dari pada yang tidak beretika, walaupun dirinya tidak bisa melakukannya.
Dalam Islam naluri etik tidak sanggup dipisahkan dengan naluri agama. Etika, moral, dan moral ialah esensi agama, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi ”Sesungguhnya semata-mata saya diutus untuk menyempurnakan moral yang mulia.”
Islam sebagai agama fitrah tidak spesialuntuk sesuai dengan naluri keberagamaan insan tetapi juga sesuai dengan, bahkan menunjang, pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, termasuk sumber daya manusiannya, sehingga akan membawanya kepada ketuhanan dan kesempurnaan pribadinya.
Manusia makhluk individu dan sosial
Individu ialah seseorang yang belum diketahui predikatnya sedangkan langsung sudah menggambarkan predikat seseorang, baik terkena sikap mental maupun perilakunya yang membedakannya dengan orang lain.Karena insan makhluk individu dan sosial, maka pendidikannya juga sering diartikan sebagai individualisasi dalam sosialisasi.
Individu yang tidak bisa melaksanakan pembiasaan sering disebut maladjustment, yang sanggup menghambat perkembangan pribadinya. Tetapi ibarat dikatakan di atas individu tidak spesialuntuk dipengaruhi oleh masyarakatnya tetapi juga dipengaruhi proses perubahan masyarakat.
®
Kepustakaan:
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemah, (Yakarta; Departemen Agama, 1989).