Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Haji Berdasarkan Al-Quran Dan Hadis

Melaksanakan haji wajib hukumnya bagi setiap kaum muslim dan muslimat yang sudah memenuhi syarat-syarat tertentu, kewajiban haji ini berdasarkan pada dalil-dalil aturan yang berasal dari al-Quran, hadis, Dalam al-Quran terdapat ayat yang mengambarkan kewajiban melaksanakan ibadah haji.
Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Imron ayat: 97:
Dan sebab Allah, wajiblah orang-orang yang melaksanakan haji ke baitullah, yaitu bagi yang bisa melaksankan perjalan kesana.
Di dalam hadis juga dijelaskan wacana dasar aturan haji, sabda nabi saw:
Dari Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Islam didirikan atas lima sendi: mengakui bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah swt, dan bahwasannya Muhammad saw utusan Allah swt, dan mengerjakan shalat, dan membayar zakat, dan haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan. (HR. Bukhori dan Muslim).
al-Quran, hadis dan ijma para ulama tetapkan bahwa haji itu, yaitu fardu ‘ain bagi muslim dan muslimat yang sanggup mengerjakannya.
Di dalam fiqih wanita, Anshori Umar menyampaikan bahwa haji itu fardu ‘ain yang diwajibkan sekali seumur hidup atas setiap pria atau perempuan yang sudah memenuhi syarat.
Ketentuan dari kewajiban haji para ulama bersepakat tetapkan spesialuntuk sekali saja dalam seumur hidup, tidak berulang-ulang diwajibkannya untuk seumur hidup kecuali bila dinadzarkan. Selain satu kali diwajibkan, maka yang lebih dari satu dipandang sunnah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Rosullah saw berkhutbah kepada kami dia berkata: Sesungguh Allah sudah mewajibkan atas engkau sekalian haji. Lalu al-Aqra bin Ja’bis berdiri, lalu berkata: Apakah kewajiban haji setiap tahun ya Rosullah? Nabi menjawaban, dan sekiranya kukatakan ya, tentu menjadi wajib, dan sekiranya diwajibkan, engkau sekalian tidak akan melaksanakannya, dan pula tidak mampu, ibadah haji itu sekali saja. Siapa yang menambah itu berarti perbuatan sukarela saja.
Mengenai aturan pelaksanaan ibadah haji apakah kewajiban itu secara seketika, atau tertunda-tunda. Masalah ini para ulama tidak sama pendapat. Imam Syafi’i, at-Tsuri, dan Muhammad Ibn Hasan, beropini bahwa haji itu tidak harus seketika. Artinya, boleh dikerjakan kapan saja. Demikian pula menyerupai yang dikutip Imam Mawardi dari Ibnu Abbas, Anas, Jabir, Atha’, dan Tawus. Sedangkan berdasarkan Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hambal, al-Muzani dari madzhab Syafi’i, dan Abu Yusuf, bahwa haji itu harus seketika, maksudnya dilarang ditunda-tunda hingga mati.
Para ulama yang menyampaikan bahwa haji itu harus dilaksanakan seketika berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Dari Ibnu Abbas ra, Rasulallah saw pernah bersabda: Barang siapa yang ingin haji maka laksanakan dengan segera. Karena jadi ia akan sakit atau kesusahan tersesat atau keburu keperluan yang lain. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Baehaqi).
®
Kepustakaan:
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Bairut: Dar al-Kutub al-Amaliah, 1991). Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: Asy-Syifa, 1986). Muhamad bin Ismail, Subul As-Salam, (Bairut: Dar al-kutub al-Amaliah, 1988). Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu fiqh, (Jakarta: 1983).